Saturday, March 19, 2011

Lessons Learned From Al Baqarah 62-74 (Taken From Al Mishbah)

Ayat 62:

Melalui ayat ini, Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang insaf *Masih ingat penjelasan tentang ayat bahwa Allah itu juga 'bertaubat' & sifat ar-Rahmann dan ar-Rahiim?* Kepada mereka disampaikan bahwa jalan untuk meraih ridha Allah bagi mereka serta bagi umat-umat lain, hanyalah iman kepada Allah dan dan hari Kemudian serta beramal saleh.

Karena itu, ditegaskannya bahwa: Sesungguhnya orang-orang yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada Nabi Muusaa as., dan orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada 'Iisaa as., dan orang-orang Shabi'in, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian, sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui para nabi, serta beramal saleh yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan Pemelihara dan Pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya: tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apa pun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi.

Ayat ini dimulai dengan kata inna/sesungguhnya, untuk menampik dugaan bahwa kecaman dan siksa pada uraian ayat-ayat yang lalu tertuju kepada semua Bani Israa'iil.

"Sementara sahabat-sahabat saya heran ketika saya sampaikan bahwa pada saat berada di Roma saya berkunjung ke kuburan Petrus untuk memeroleh berkatnya karena Beliau adalah salah seorang hawaariyyiin (sahabat Nabi 'Iisaa as. yang setia)" - Ibn 'Aasyur ketika menafsirkan ayat ini-

Yang dimaksud dengan kata haaduu adalah orang-orang Yahudi atau yang beragama Yahudi. Dalam Bahasa Arab disebut yahuud. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari bahasa Ibrani yaitu yahudz. Penamaan tersebut, menurut Thaahir Ibn 'Aasyuur, baru dikenal jauh setelah kematian Nabi Sulaimaan as. sekitar 975 SM. Quraish mengamati bahwa Al Qur'an tidak menggunakan kata yahuud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya ayat ini menggunakan haaduu, dibandingkan yahuud.

Thaahir Ibn 'Aasyuur berpendapat lain. Menurutnya, kerajaan Bani Israa'il terbagi dua kerajaan setelah kematian Nabi Sulaimaan as., yaitu:

1) Kerajaan Rahbi'aam (putra Nabi Sulaimaan) dengan ibu kota Yerusalem. Pengikutnya cucu Yahuudza dan cucu Benyamin.
2) Kerajaan Yurbi'aam (putra Banaath) salah satu anak buah Nabi Sulaimaan yang gagah berani dan diserahi oleh Beliau kekuasaan yang berpusat di Samirah. Yurbi'aam bergelar raja Israa'iil. Masyarakatnya sangat bejat dan menghaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporaporandakan, bahkan mereka diperbudak *apakah mereka ini yang disebut dalam ayat 49?* sehingga kerajaan ini punah setelah 250 tahun. Sejak itu, hanya ada kekuasaan dan kerajaan Bani Israa'iil dari Rahbi'aam yang bertahan hingga 120 SM. Mereka dihancurkan oleh Adrian, salah satu penguasa imperium Romawi, yang mengusir mereka sehingga terpencar kemana-mana.

Agaknya, keturunan kerajaan Rahbi'aam itulah yang disebut dengan haadu, dan karena itu ayat ini menggunakan redaksi itu walaupun pada akhirnya kata haadu mencakup semua yang beragama Yahudi.

Kata an-nashaara terambil dari kata naashirah, suatu wilayah di Palestina, dimana Maryam dibesarkan. Dari Naashirah, Maryam dalam keadaan mengandung 'Iisaa as. menuju ke Bait al-Maqdis, tetapi sebelum tiba, Maryam melahirkan di Betlehem. 'Iisaa as. digelari Yasuu oleh Banii Israa'iil dan pengkikutnya dinamai nashaaraa yang merupakan bentuk jamak dari kata nashry atau naashiry.

Beberapa pendapat tentang kata ash-shaabi'iin:
  • Terambil dari kata shaba' yang berarti muncul dan tampak.
  • Bermakna penyembah binatang
  • Terambil dari kata saba', daerah di Yaman dimana Ratu Balqis pernah berkuasa dan penduduknya menyembah matahari dan bintang.
  • Terambil dari bahasa Arab yang digunakan oleh penduduk Mesopotamia di Irak.
Beriman kepada Allah dan hari Kemudian adalah istilah yang biasa digunakan Al Qur'an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.

Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar-umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, mereka semua akan memeroleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.

Menurut Quraish, pendapat semacam itu nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, tapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Hidup rukun dan damai antar-pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi bukan berarti mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari Kemudian agama siapa yang direstui-Nya dan mana yang tidak; siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa yang akan takut dan bersedih.

Ayat 62 ini diperhadapkan dengan ayat 61. Perhatikan kalimat fa lahum ajruhum 'inda Rabbihim/ untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka diperhadapkan dengan wa baa'uu bi ghadhabin min Allaah/ mereka mendapatkan kemurkaan dari Allah. Lalu kalimat wa laa khaufun 'alaihim/ tidak ada kekhawatiran menimpa mereka diperhadapkan dengan wa dzuribat 'alaihim adz-dzillah/dan ditimpakanlah atas mereka nista. Serta kalimat wa laa hum yahzanuun/tidak (pula) mereka bersedih hati diperhadapkan dengan klaimat al-maskanah/ kehinaan.

Ayat 63:

Ayat ini mengingatkan orang-orang Yahudi tentang perjanjian mereka menyangkut kitab suci Taurat. Tatkala itu, mereka menolak melaksanakan kandungan Taurat kemudian Allah memerintahkan malaikat mengangkat gunung Thursina ke atas kepala mereka, yang kini berada di Sinai *lho, berarti dulu gak di Sinai?*.

Peristiwa pengangkatan gunung itu terjadi ketika mereka pada mulanya memohon untuk melihat Allah di dunia ini dengan mata kepala, lalu Allah memperdengarkan kepada mereka halilintar yang "mematikan" mereka dan setelah mereka "dihidupkan kembali", mereka menolak mengamalkan kandungan kitab suci karena menilainya berat untuk dilaksanakan. Menghadapi pembangkangan itu, Allah mengangkat gunung Thursina dan mengancam untuk menjatuhkannya di atas kepala mereka. Ketika itu, barulah mereka tunduk dan sujud, pertanda bersedia mengamalkannya. Konon, mereka bersujud sambil mengarahkan pandangan ke arah gunung di atas mereka. Itu sebabnya, menurut Asy-Sya'raawi, hingga kini cara sujud orang Yahudi adalah dengan mengarahkan sebelah wajah ke bawah dan sebelahnya yang lain memandang menuju ke atas.

Thaahir Ibn 'Aasyuur mengemukakan pendapat lain tentang makna Kami angkat gunung. Menurutnya, ketika Allah bertajalli ke gunung (menampakkan cahaya-Nya melalui gunung dengan satu cara yang tidak kita ketahui), gunung tersebut bergerak bahkan hancur, asap berterbangan, guntur bersahutan, dan kilat menyambar. Ketika itu boleh jadi mereka bagaikan melihat gunung seperti awan yang berada di atas mereka, karena itu dalam QS al-A'raaf: 7 dinyatakan: "Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka seakan-akan gunung itu naungan awan dan mereka yakin bahwa itu akan jatuh menimpa mereka." Menurut Quraish, pendapat ini lebih logis daripada pendapat asy-Sya'raawi dan banyak ulama selainnya yang menyatakan bahwa gunung Thursina diangkat oleh Allah di atas kepala mereka. *Heu, saya juga berpendapat bahwa pendapat Thaahir lebih logis, ah tapi siapa saya, ilmu juga masih cethek*

Kemudian Allah mengambil janji mereka untuk berpegang teguh pada apa yang Allah berikan kepada mereka dan mengamalkan selalu apa yang ada di dalamnya agar mereka bertakwa, yakni melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mengingat kandungannya agar mereka dapat terhindar dari sanksi yang ditetapkan Allah.

Ayat ini merupakan isyarat bahwa kitab suci bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandungannya, dan diamalkan dengan harapan dapat mengantar kepada ketakwaan. Pakar hadits an-Nasaa'ii meriwayatkan melalui Abuu Sa'iid al Khudri bahwa Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya salah seorang manusia yang paling bejat adalah seorang fasik yang membaca al-Qur'an sedang dia tidak memerhatikan sesuatu darinya," yakni tidak mengamalkannya.

Melalui ayat ini pula, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedewasaan berpikir umat sebelum kehadiran Nabi Muhammad saw., selalu bersifat indriawi (terlihat dan terjangkau oleh pancaindra), bukan bersifat akli sebagaimana halnya mukjizat al Qur'an. *Hmmm..... Apakah ini merupakan tanda juga bahwa cara berdakwah yang paling cocok untuk ummat saat ini diharapkan untuk bersifat logis?*

Ayat 64:

Ayat ini menjelaskan bahwa Banii Israa'iil telah diperingatkan tetapi ternyata mereka berpaling enggan mengamalkan Taurat dan mereka melecehkan para nabi sehingga mereka wajar mendapat siksa Allah, tetapi Allah masih berbaik-baik kepada mereka. Maka kalau tidak ada anugerah Allah, yaitu pemberian yang melebihi hak mereka, --kalau seandainya hak itu ada--, beserta rahmat-Nya atas mereka, yang menangguhkan siksa supaya mereka bertaubat niscaya gunung Thursina dicampakkan atas mereka, dan jika demikian mereka pasti termasuk orang-orang yang merugi, celaka dan binasa dengan siksa duniawi dan ukhrawi.

Kata kemudian memberi kesan bahwa pembangkangan itu terjadi setelah ketekunan mereka melaksanakan isi perjanjian tersebut berlangsung relatif cukup lama.

Dari penjelasan tersebut, saya jadi berpikir tentang transfer nilai yang dimiliki oleh orang Yahudi di waktu gunung Thursina diangkat dengan generasi sesudahnya. Apakah mereka mengajarkan tentang ketauhidan kepada penerusnya? Ataukah generasi penerusnya yang memang bandel, meskipun transfer nilai ketauhidan itu telah dilakukan?

Ayat 65-66:

Ayat ini berbicara tentang peristiwa pelanggaran ketentuan memancing pada hari Sabtu di kalangan mereka. Berbeda dengan ayat-ayat lalu yang dimulai dengan kata wa idz/dan ingatlah, ayat ini dimulai dengan kata sesungguhnya telah kamu ketahui. Thaahir Ibn 'Aasyuur menilai penggunaan redaksi ini sebagai salah satu bukti kemukjizatan al Qur'an karena apa yang diberitakan dalam ayat ini bukan uraian yang terdapat dalam kitab Taurat. Kisah pelanggaran tersebut sangat populer dan diketahui oleh para pemuka agama Yahudi.

Ayat ini menyatakan bahwa Banii Israa'iil telah mengetahui pelanggaran ketentuan di hari Sabtu, yaitu tetap mengail ikan, melalui pemuka-pemuka agama mereka. Kemudian Allah berfirman kepada mereka, "Jadilah kamu atas kehendak dan kekuasaan Kami kera yang hina dan terkutuk." Maka Allah menjadikan mereka kera sebagai penghalang melakukan pelanggaran yang serupa bagi orang-orang di masa itu, yang melihat dan mengetahui peristiwa ini dan juga bagi mereka yang tidak melihatnya karena tidak semasa dengan mereka, yakni bagi orang-orang yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran yang amat berguna bagi orang-orang yang bertakwa.

Masih menyambung dengan pemikiran saya tentang transfer nilai yang saya singgung di ayat sebelumnya, dari penjelasan ayat 65-66, berarti ada transfer ilmu dari para pemuka agama mereka terhadap umat. Tapi penyampaian ilmu tidak selalu dibarengi dengan pelaksanaannya, tampaknya...

Hari Sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi orang-orang Yahudi, sesuai usul mereka, sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas duniawi. Sebagian orang Yahudi pada waktu itu melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail, tetapi membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu. Peristiwa ini, menurut sementara mufasir, terjadi di salah satu desa Aylah yang kini dikenal dengan Teluk Aqabah. Kemudian, setelah Hari Sabtu berlalu, mereka mengailnya. Allah murka kepada mereka sehingga Allah berfirman kepada Banii Israa'il, "Jadilah kamu kera yang hina terkutuk." Perintah ini adalah perintah taskhiir, yakni perintah yang menghasilkan terjadinya sesuatu.

Goodness, mereka berarti tergolong 'cerdas', tapi tak bisa memanfaatkan kecerdasan mereka untuk menghindari dosa.... Naudzubillah

Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal di kalangan mereka, khususnya para pemuka agama mereka. Dalam QS al Maa'idah: 60, dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan kera dan babi.

Kera adalah satu-satunya binatang yang selalu terlihat auratnya, karena auratnya memiliki warna yang menonjol dan berbeda dengan seluruh warna kulitnya. Di sisi lain, kera harus dicambuk untuk mengikuti perintah. Demikianlah sementara orang-orang Yahudi yang dikecam oleh al Qur'an. Mereka tidak tunduk dan taat kecuali setelah dijatuhi sanksi atau diperingatkan dengan ancaman, sebagaimana terbaca pada ayat-ayat yang lalu. Selanjutnya, babi adalah binatang yang tidak memiliki sedikit pun rasa cemburu. Hal ini juga merupakan sifat sebagian orang Yahudi. Rasa cemburu tidak menyentuh mereka, walau istrinya menari dan berdansa dengan pria lain.

Menurut Quraish, tidaklah terlalu penting untuk membuktikan apakah bentuk jasmani mereka yang diubah atau bukan. Yang pasti akhlak dan cara berpikir mereka tidak lurus.

Ayat 67-71:

Perhatikan ayat 40-74, setelah pada awalnya menjelaskan nasihat dan peringatan terhadap Banii Israa'iil tentang akibat dan tujuan dari sanksi Ilahi, kelompok ayat ini melanjutkan dengan gambaran akal bulus dan kelicikan mereka, penyimpangan dan keraguan mereka terhadap nabi, serta upaya mereka menghindar dari perintah Allah.

Allah menjelaskan kelicikan, keraguan, dan pembangkangan mereka melalui kisah sapi yang menjadi nama surah ini. Peristiwa itu bermula dari terbunuhnya seorang tua kaya yang tidak jelas siapa pembunuhnya. Mereka saling mencurigai dan tuduh menuduh. Akhirnya mereka bermohon kepada Nabi Muusaa as. agar berdoa kepada Allah supaya mereka diberitahu siapa pembunuh sebenarnya.

Nabi Muusaa as. menyampaikan bahwa Allah menyuruh mereka menyembelih seekor sapi, apapun sapi itu, jantan atau betina, karena kata baqarah bukan dalam arti sapi betina, tetapi menunjuk jenis sapi. Akan tetapi, mereka tidak percaya bahwa yang memerintah adalah Allah swt. Mereka bahkan berkata, "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan atau bahan olok-olok? Kami bermohon kepadamu untuk berdoa agar Tuhan menjelaskan siapa pembunuh sebenarnya, lalu engkau menyuruh kami menyembelih seekor sapi."

Nabi Muusaa as. menjawab, "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah satu dari orang-orang yang jahil." Maksudnya, tiada yang menjadikan orang lain buah ejekan dan bahan olok-olok kecuali orang jahil, apalagi ini berkaitan dengan nyawa manusia dan atas nama Allah pula.

Bisa jadi, tulis Quraish, alasan Allah memilih sapi untuk menjadi alat menjawab pertanyaan mereka adalah dalam rangka menghilangkan bekas-bekas penghormatan mereka kepada sapi, yang pernah mereka sembah (baca ayat 51), dan dalam rangka menunjukkan kekuasaan Allah membangkitkan yang mati melalui sesuatu yang mati, serta membuktikan betapa luas pengetahuan-Nya.

Sebanarnya, jawaban Nabi Muusaa as. itu telah cukup. Apalagi di celah-celah jawaban Beliau ada semacam sindiran. Namun, mereka tetap memunculkan pertanyaan selanjutnya, yaitu "Sapi apakah itu? Berapa umurnya? Apa warnanya? Bagaimana hakikatnya? Semua pertanyaan itu tidak perlu mereka ajukan kalau mereka memang tulus melaksanakan perintah. Dalam pertanyaan itu, mengandung pelecehan terhadap Tuhan dan Nabi Muusaa as. Perhatikan redaksi yang digunakan. Mereka bukan berkata, "Berdoalah kepada Tuhan kita." Tetapi berulang-ulang mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu."

Melalui ayat ini, Allah memberi pelajaran kepada mereka dan umat Islam agar jangan bertanya yang tidak pada tempatnya. "Allah bukan lupa bila diam atau tidak menjelaskan, tetapi itu adalah rahmat dan kemudahan." Demikian Nabi Muhammad saw. bersabda.

Ciri-ciri utama tabiat Bani Israa'iil tercermin jelas dalam kisah ini, yaitu putusnya hubungan antara jiwa mereka dan sumber keimanan kepada yang gaib, kepercayaan kepada Allah, serta kesiapan untuk membenarkan apa yang disampaikan rasul, juga bermalas-malas dan menunda pemenuhan kewajiban sambil mencari alasan dan dalih, serta kegemaran berolok-olok yang lahir dari kebejatan hati dan keburukan ucapan. [Sayyid Quthub] Tentu saja yang dimaksud oleh Sayyid Quthub adalah keadaan sebagian dari mereka karena al Qur'an tidak pernah menggeneralisasi, walau redaksi yang digunakannya boleh jadi diduga demikian, tambah Quraish.

Penjelasan di atas membuat saya penasaran, sebenarnya bagaimana kebudayaan orang-orang Yahudi? Bagaimana sistem pendidikan mereka?

Di tempat lain, Sayyid Quthub berkomentar bahwa dialog kisah ini tidak terputus untuk menjelaskan apa yang terjadi antara Nabi Muusaa as. dan Tuhannya, padahal sekian kali kaumnya meminta agar Beliau bermohon kepada Tuhannya. Memang Beliau bermohon dan menyampaikan kepada mereka jawaban Allah, tetapi uraian kisah tidak menyatakan bahwa Beliau bermohon kepada Allah, tidak juga bahwa Allah menyambut dan menjawabnya. Ini karena diam di sini adalah yang sesuai dan layak bagi keagungan Allah, yang tidak pantas menempuh jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang keras kepala menerima kebenaran.

Ayat 72:

Dalam rangka menemukan siapa pembunuh orangtua kaya yang sebenarnya, Allah berfirman bahwa: "Dan ingat jugalah, disamping hal-hal yang lalu, ketika salah seorang atau kelompok diantara kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu, yakni tentang siapa pembunuhnya. Dan yakni padahal Allah hendak menyingkapkan dengan cara-Nya yang sangat mengagumkan, apa yang selama ini kamu sembunyikan."

Sebenarnya, kandungan ayat ini merupakan latar belakang dari kisah sapi yang dikemukakan sebelum ayat ini. Namun, latar belakang ini diletakkan setelah menjelaskan kisah sapi. Hal itu mungkin disebabkan konteks kelompok-kelompok ayat ini adalah gambaran tentang sikap batin dan keculasan orang-orang Yahudi. Sedangkan hal tersebut lebih jelas bila kisah sapi dikemukakan terlebih dahulu. *Hei, mungkin ini bisa jadi contoh bahwa latar belakang penulisan sebuah artikel disebutkan setelah pemaparan peristiwa.*

Al Biqaa'ii dalam tafsirnya menulis bahwa kisah sapi mempunyai dua sisi dalam rangka menjelaskan dua nikmat Ilahi.
1. Nikmat pemaafan atas sikap penundaan pelaksanaan perintah
2. Nikmat penjelasan tentang siapa pembunuhnya.

Hal tersebut untuk menggarisbawahi bahwa mereka mendapat dua kecaman atas sikap mereka, yaitu:
1) Sikap tidak sopan dalam tuduh-menuduh dan pelecehan serta penundaan pelaksanaan perintah Allah.
2) Pembunuhan yang terjadi

Masih menurut Al Biqaa'ii, kalau ayat-ayat ini disusun sesuai jalannya kisah, tujuan tersebut tidak tercapai.

Menurut Syaikh Mutawalli asy Sya'raawi, pertanyaan tentang sebab suatu perintah hanya wajar dikemukakan jika perintah tersebut bersumber dari siapa yang setingkat dengan yang bertanya atau yang lebih tinggi kedudukannya. Adapun jika perintah itu ditujukan kepada yang lebih rendah kedudukannya, tidaklah wajar bagi yang berkedudukan rendah untuk menanyakan latar belakang perintah itu. Paling tidak, sebelum perintah dilaksanakan. *Hmmm.... Penjelasan asy-Sya'raawii ini mengingatkan saya terhadap hierarki di militer.....*

"Seandainya setiap yang diperintah bertanya kepada Allah apa rahasia perintah-Nya, ketika itu akan melakukan perintah itu karena rahasia yang melata belakanginya, bukan karena Allah. Jika demikian, tidak ada bedanya orang yang beriman dan tidak beriman" [asy-Sya'raawi] *Sebentar deh. Apakah kita dilarang untuk mengadakan penelitian tentang makna dibalik perintah Allah, jika berpatokan pada pendapat asy-Sya'raawi tersebut?*

Para pakar Ushul Fiqh, seperti asy-Syaathibii, juga berpendapat seperti asy-Sya'raawii. Hanya saja, ulama ini mengkhususkannya pada hal-hal yang bersifat ibadah, bukan perintah-perintah agama yang berkaitan dengan adat-istiadat atau kehidupan sosial.

Thaahir Ibn 'Aasyuur menilai bahwa sebenarnya ada dua kisah dalam rangkaian ayat-ayat ini. Salah satu buktinya adalah masing-masing dimulai dengan kata idz yang mengandung perintah mengingat. Kisah pertama, diuraikan ayat 67-72 dan kisah kedua ada pada ayat 73-74. Kisah pertama disebut juga dalam Perjanjian Lama Ulangan 21. Disana, diuraikan bahwa apabila terjadi pembunuhan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, para orangtua dan para hakim keluar mengukur jarak kota-kota di sekeliling orang yang terbunuh itu. Para tetua yang tinggal terdekat di tempat orang yang terbunuh harus mengambil seekor lembu betina yang muda, yang belum pernah menghela (menyeret) dengan kuk (yaitu kayu lengkung ditengkuk lembu untuk menarik bajak), kemudian membawa lembu itu ke satu daerah yang berair yang belum pernah digunakan atau ditaburi. Disana, mereka mematahkan batang leher lembu muda itu. Semua tetua kota yang terdekat di tempat orang yang terbunuh itu harus membasuh tangnnya di atas lembu tersebut dan mereka harus memberi pernyataan bahwa, "Tangan kami tidak mencurahkan darah ini dan mata kami tidak melihatnya. Adakanlah perdamaian bagi umat-Mu, Israa'iil, yang telah Kau tebus itu, Tuhan, dan janganlah Engkau timpakan darah orang yang tidak bersalah ke tengah-tengah umat Israa'iil."

Dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menyembelih sapi antara lain untuk mengetahui siapa pembunuh dalam setiap pembunuhan misterius. Itu kisah pertama. Selanjutnya, kisah kedua adalah terjadinya pembunuhan terhadap seorang tua kaya yang dilakukan oleh anak-anak pamannya. Kejadian itu terjadi pada hari penyembelihan sapi. Maka Allah memerintahkan untuk memukul yang terbunuh dengan sebagian dari sapi yang harus disembelih untuk mengetahui sang pembunuh. Dari sini terlihat kaitan antara dua kisah yang disimpulkan tanpa diperinci oleh al Qur'an. Karena memang kebiasaan al Qur'an tidak memerinci kisah; yang diuraikannya hanya bagian-bagian penting yang mengandung pengajaran. Kisah pertama merupakan ajaran agama yang diuraikan karena ia menjelaskan sikap orang-orang Yahudi ketika menerima tuntunan. Sedang kisah kedua merupakan nikmat dan anugerah Allah dalam bentuk pemaparan mukjizat Nabi Muusaa as. agar iman mereka lebih kuat dan karena itu ayat tersebut ditutup dengan kalimat, "Dan menunjukkan kepada kamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu berakal."

Ayat 73:

Allah menjelaskan cara untuk mengetahui siapa pembunuh atau bagaimana cara menyelesaikan sengketa tuduh menuduh dengan cara memukulkan sebagian anggota badan sapi yang disembelih itu maka yang terbunuh bangkit hidup untuk menyampaikan siapa pembunuh sesungguhnya, atau dengan demikian, masing-masing telah membuktikan bahwa bukan dia pembunuhnya sehingga tidak wajar lagi terjadi sengketa dan tuduh menuduh.

Ayat ini menurut penganut paham rasional, mengisyaratkan salah satu cara Banii Israa'iil menampik tuduhan pembunuhan dan membuktikan siapa pembunuhnya, yaitu dengan menyembelih binatang dan menyentuhkan tangan ke darahnya atau ke nadan sapi sebagaimana telah dikutip di atas dari Perjanjian Lama. Siapa yang mencucuinya sesuai petunjuk yang mereka tetapkan, ia akan bebas dari tuduhan. Sedangkan, siapa yang enggan, dialah yang terdakwa.

Kalimat idhribuuhu bi ba'dhihaa/pukullah mayat itu dengan sebagiannya tanpa menyebut kata anggota badan sapi dijadikan oleh al Biqaa'i sebagai bukti bahwa ayat-ayat ini hanya merupakan satu kisah bukan dua kisah.

Kalimat kadzaalika yuhyii Allaah mautaa/ demikian Allah menghidupkan yang mati dipahami oleh para penafsir rasional dalam arti Allah melanjutkan hidup sekelompok masyarakat dengan jalan menghindarkan mereka dari pembunuhan beruntun, melalui ketetapan dan cara-cara seperti di atas. Cara yang ditempuh Banii Israa'iil itu atau cara apa pun yang diterima oleh adat kebiasaan atau logika suatu masyarakat dalam hal pembunuhan merupakan cara yang dapat menjamin kesinambungan hidup seluruh masyarakat. Karena, pembuktian yang tidak diterima dapat mengakibatkan pembunuhan-pembunuhan beruntun. Dalam Perjanjian Lama, kisah di atas diberi subjudul: Cara mengadakan perdamaian karena pembunuhan oleh seorang yang tak dikenal (lihat al Kitab, Lembaga al Kitab Indonesia, Jakarta 1998)

Mayoritas ulama menolak ayat ini. Mereka berpendapat bahwa mayat yang dipukul dengan anggota badan sapi akan serta merta bangkit hidup dan menyempaikan siapa pembunuhnya. Jika Anda bertanya, "Bagaimana caranya?" mereka akan menjawab, "Kita tidak dapat menjangkaunya."

Dikutip secara bebas dari Sayyid Quthub, sesungguhnya jarak antara substansi kematian dan substansi hidup adalah jarak yang sangat jauh, mengherankan manusia. Tapi menurut perhitungan kudrat kekuasaan Ilahi itu adalah mudah. Tapi tak ada seorang pun yang tahu caranya. Akal manusia hanya dapat menjangkau maknanya dan menarik pelajaran darinya.

Ada saja agama yang mengajarkan keniscayaan hari Kemudian, tetapi penganutnya tidak percaya, bukan dalam arti tidak mengakuinya, tetapi sikap dan tingkah laku mereka tidak sesuai dengan apa yang dituntut oleh kepercayaan itu. [Quraish Shihab]

Orang yang berakal adalah orang yang memahami atau terhalangi dari perbuatan keji dan terjerumus dalam kesalahan.

Ayat 74:

Ayat ini menggambarkan sikap Banii Israa'iil setelah peristiwa pada ayat 73 itu mereka tidak melemah dan tunduk, padahal bukti dan keterangan yang disampaikan telah jelas. Itu karena hati mereka mengeras menjadi seperti batu. Kenapa gak pakai kata besi? Karena besi dapat luluh dan mencair. Bahkan hati mereka lebih keras dari batu, karena diantara batu-batu itu ada yang dialiri sungai sehingga bentuknya berubah bahkan ada yang terbelah karena derasnya aliran air. Ada juga batu yang meluncur jatuh atas kehendak Allah melalui hukum-hukum sebab akibat karena takut kepada Allah. Dan Allah tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Kata qaswah digunakan untuk menyifati benda maupun hati yang bermakna keberadaan sesuatu dalam satu keadaan yang sama, tidak dapat berubah.

Kekerasan hati Banii Israa'iil telah terjadi jauh sebelum ini. Karena itu, kata tsumma/kemudian pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama menunjukkan bahwa kekerasan hati seharusnya telah sirna setelah peristiwa penghidupan kembali si terbunuh melalui penyembelihan sapi. Tapi orang-orang Yahudi tetap saja keras hatinya.

Dalam pandangan al-Qur'an, segala sesuatu di alam raya ini hidup dengan kehidupan yang sesuai dengan kondisinya. Coba baca QS al Israa': 44. Maka, segala sesuatu termasuk batu, "mengerti", tetapi jangan tanya bagaimana mereka mengerti dan takut atau bagaimana mereka bertasbih setelah Allah menegaskan dalam QS al Israa': 44 bahwa "tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka".

***

Fiuuuuh, selesai juga nulisnya. Alhamdulillah :D. Kalimat yang saya tulis dengan warna biru menunjukkan bahwa kalimat itu berasal dari saya, tidak ada di Buku Al Mishbah. Kamu bisa lihat post sebelumnya yang berkaitan disini

    No comments:

    Post a Comment