Monday, December 30, 2013

Bersedia, Siap, Yak!

Akhir pekan lalu, saya menjalani tes pengambilan sabuk dari suatu aliran pencak silat. Jika ditanya dua tahun yang lalu, mungkin tak akan pernah terbayang bahwa saya akan berubah dari sekedar penikmat tontonan bela diri menjadi pelaku. Saya, yang dalam penghakiman diri sendiri maupun beberapa orang, memiliki tubuh yang rentan sakit dan klemar-klemer. Tak heran jika mereka kaget sekali mendengar saya sekarang berlatih pencak silat.

Acara dimulai dari jam 7 malam hingga jam 7 pagi. Tanpa tidur, bertentangan dengan apa yang kami pikir sebelumnya :)). Jadwalnya lumayan padat. Kami menjalani tes di tiga pos. Dua pos untuk pelatihan fisik dan satu untuk pelatihan mental. Istirahat untuk makan asupan karbohidrat, lalu dilanjut dengan jurit malam. Setelah jurit malam, kami harus mengambil sabuk di dalam kompleks makam. Tujuannya adalah untuk mengingat bahwa nantinya, kami akan jadi penghuni makam. Di samping itu, untuk mengalahkan ketakutan diri sendiri. Saat kami kira acara telah selesai, ternyata dilanjutkan dengan tes sambung.

Tuesday, November 26, 2013

Televisi di Ruang Keluarga Kita



Sebelum membaca lebih jauh, mari kita dengarkan lagu Naif yang berjudul Televisi.

"Aku ingin membeli tv 72 inchi. Untuk bisa aku nikmati. Bersama sanak famili"
Awal perkenalan saya dengan TV, di bawah usia tiga tahun. Saya tak tahu dengan pasti kapan. Tetapi, di sudut ingatan, masih tersisa iklan TVRI dengan taglinenya yang terkenal saat itu, " TVRI, menjalin kesatuan dan persaaatuuuaaan".

Berhubung track record saya adalah anak rumahan, kehidupan sehari-hari Mutya kecil dipenuhi dengan suguhan televisi. Meskipun kadang diselingi main "bongkar pasang" -'boneka yang terbuat dari kertas lalu kita yang menjadi sutradaranya-- atau menonton atraksi akrobatik yang dilakukan sering adik atau sekedar membaca buku. Tapi, sebagian besar interaksi saya dibatasi televisi. Main dengan tetangga? Hahaha, nyaris tak pernah. Karena TV, dulu, saya rasa cukup untuk menggantikan manusia nyata.

Saturday, November 9, 2013

Dzikir, Ceunah


Berlatar belakang sekolah Islam sewaktu TK & SMA, sedikit banyak mempengaruhi pola pikir saya tentang iman & agama. Dulu, rukun iman & rukun Islam hanyalah sebuah narasi. Narasi yang dihafalkan. 

Rukun Iman terdiri dari enam butir, yaitu:

  1. Iman kepada Allah SWT
  2. Iman kepada malaikat-malaikat
  3. Iman kepada Kitab-kitab
  4. Iman kepada Rasul-rasul
  5. Iman kepada hari kiamat
  6. Iman kepada qada & qadar

Sedangkan rukun Islam terdiri dari lima butir, yaitu:

  1. Mengucap dua kalimat syahadat
  2. Menunaikan shalat
  3. Menunaikan zakat
  4. Berpuasa di bukan Ramadhan
  5. Berhaji bagi yang mampu
Setelah sekian lama saya hidup dalam lingkungan keluarga yang kebetulan muslim, saya baru sadar. Bahwasanya, sejak awal telah ada dikotomi antara iman & agama. Agama (Islam), sebagaimana terlihat dalam rukun Islam, membutuhkan adanya ritual. Serta dibutuhkan adanya pengakuan dan terlihat oleh orang lain. Sedangkan iman, bisa saja tak dinampakkan. Sesuatu yang bersifat personal.

Akar kata syahadat syīn hā dāl (ش ه د) dalam corpus quran, disebut 160 kali dalam Al Qur'an. Diantara turunan katanya dapat berarti to testify, to bear/make/call witness, testimony, evidence, the seen, martyr, present. Dari kesemuanya, saya mengambil kesimpulan bahwa ketika seseorang disebut bersyahadat, pada hakikatnya ia mengetahui alasan mengapa ia menyebut Tuhan adalah Tuhan, dan paham mengapa mengikuti ajaran Muhammad. Seharusnya ia telah melakukan percobaan tentang kebenaran yang ada dalam dua kalimat syahadat. Seharusnya.....

Mengapa saya mengulangi kata seharusnya pada kalimat di atas? Karena saya pun belum menemukan jawaban kebenaran yang terletak pada dua kalimat syahadat. Terutama pada kalimat terakhir. Saya tak tahu, mengapa di antara sekian banyak manusia, sekian banyak rasul, cuma Muhammad yang diperlakukan istimewa. Kalau Isra Mi'raj dianggap keistimewaan Nabi Muhammad, lalu bagaimana dengan kisah Nabi Idris yang memiliki kemiripan narasi pada Book of Enoch?

Monday, June 17, 2013

Seriously, What's Wrong with Women?



Saya wanita. Secara fisik dan gender, saya wanita. No, I'm not a lesbian. Saya juga bukan pengusung masalah kesetaraan gender. Tapi, saya merasa ada yang salah dengan wanita. Well, tak semua wanita. Tapi kebanyakan dari wanita.

Coba perhatikan topik obrolan para wanita selama diskusi. Ada satu benang merah yang bisa ditarik. Kebanyakan dari kami, gemar membicarakan diri sendiri maupun orang terdekat. Baik itu dilakukan secara terbuka oleh publik, maupun di ruang privat.

Ketika bertemu dengan kawan lama atau baru berkenalan, kebanyakan wanita tak segan bertanya hal pribadi, seperti status pernikahan. Status pernikahan tampaknya sangat diagung-agungkan dalam komunitas ini. Seolah yang sudah menikah dengan yang masih melajang, ada di kelas yang berbeda.

Yang membuat saya prihatin adalah, mengapa kami hanya berputar-putar saja pada topik pribadi? Seolah porsi untuk membicarakan hal diluar kami, itu sangat sedikit dan tersisihkan. Kalaupun sedang melakukan diskusi, hampir selalu berbelok menjadi curhat. Dalam ajang curhat itu tampaknya pembicara hanya ingin untuk didengar. Bukan untuk diberikan solusi. Membingungkan, bukan?

Monday, June 3, 2013

Guilty Pleasure: That Winter, The Wind Blows


Saya termasuk bukan penggemar berat drama romantis. Apalagi yang banyak adegan berderai air mata atau tingkah lebay antara lelaki dan perempuan --terutama puisi, bweh--. Bagi saya, film dengan narasi yang dekat dengan fakta dan sedikit --hanya sedikit-- bumbu romantik itu yang menarik.

Akan tetapi, entah kenapa akhir-akhir ini mata saya tertuju pada "That Winter, The Wind Blows". Sebuah drama Korea. Layaknya film drama, tentu saja terkadang ada adegan yang lebay. You may call it is my guilty pleasure.

Sosok Oh Soo yang diperankan Jo In Sung --begitukah penulisan latinnya?-- ini membuat mata malas berkedip. Bukan karena kegantengannya. Standard ganteng saya bukan yang seperti itu. Justru karena wajahnya terlihat suram, sering mengerutkan dahi dan serius itu yang membuat tampak menarik. Umurnya, sejauh yang saya cari via googling, 32 tahun. Pria kepala tiga itu, IMO berada pada kondisi sedang menarik-menariknya. Mereka sudah mulai melihat realita dari impian remaja. Sudah mulai terbentur masalah yang lebih serius. Biasanya jenjang karir di usia ini sudah mulai kelihatan. Secara penampilan pun, rata-rata terlihat matang dan belum memiliki uban.

Saturday, April 27, 2013

Atas Nama Sejarah


Dipimpin oleh dinasti Kim sebagai puncak pimpinan, Korea Utara merupakan negara yang unik. Guy Delisle, dalam komiknya berjudul "Pyongyang: A Journey in North Korea", menggambarkan betapa keluarga Kim sangat pandai memelihara mitos.

Mitos, oleh penguasa merupakan alat yang sudah sejak lama sengaja dipelihara untuk melegitimasi kekuasaan mereka atas rakyat. Semakin pandai rakyat, maka ia akan berpeluang lebih besar untuk menjadi penghalang bagi kekuasaan yang telah ada. Salah satu mitos yang masih saja dinikmati oleh rakyat terutama wanita adalah kisah tentang Kartini. Bung @zenrs telah menuliskan lakon Kartini di setiap zaman, bergantung kepentingannya.

Secara evolusi, manusia memiliki kecenderungan untuk mempercayai takhayul ataupun mitos. Penelitian Kevin R. Foster & Hanna Kokko, menunjukkan bahwa, proses seleksi alam telah 'mengijinkan' manusia untuk memercayai ketakutannya. Lalu menimbulkan takhayul ketika tak berupaya untuk membuktikan sendiri teori mereka. Pada manusia, penilaian kausalitas dan responnya terkait pada kompleksitas kemampuan bernalar dan penyebaran budaya.

Tuesday, March 19, 2013

Mempertanyakan Keimanan

"Membaca atau mengucap syahadat sungguh berbeda dari mengalami syahadat. Syahadat bukanlah bacaan & pengalaman syahadat bukan sekadar pembacaan" [Candra Malik]
Menyatakan bentuk keimanan terhadap Deity dan menerjemahkannya dalam tindakan non verbal adalah dua hal yang berbeda. Syahadat, begitu muslim mengenalnya, terdiri dari dua pernyataan. Bagian pertama menyatakan tiada tuhan selain Tuhan. Bagian kedua menyatakan pembenaran bahwa ada manusia bernama Muhammad, merupakan utusan Tuhan.

Selama beberapa tahun terakhir, syahadat bukanlah hal yang sederhana bagi saya. Ini merupakan sesuatu yang rumit. Melibatkan pembuktian kebenaran kedua pernyataan tersebut, yang sayangnya tak semudah diucapkan. Mengingatkan pada pelajaran Introduction to Mathematical Thinking dari Prof Keith Devlin, bahwa pernyataan tersebut bersifat shahih dengan syarat. Pernyataan dengan kata sambung DAN bernilai shahih jika keduanya benar. CMIIW

Dalam sehari, seorang muslim diharapkan setidaknya mengucapkan syahadat sebanyak 10 kali, di dalam shalat wajib. Menegakkan shalat, begitu katanya. Tafsiran manusia, khususnya muslim, terhadap penegakkan shalat pun bisa jadi beragam. Jika shalat hanyalah ritual, maka syahadat tak ubahnya ucapan sehari-hari tanpa makna.

Saya meyakini ada kekuatan besar yang mengatur alam semesta ini dengan sempurna. Kebanyakan manusia melabelnya dengan Tuhan. Lalu, sejauh mana usaha manusia dalam mengenal Tuhan dan 'menjadikannya' Tuhan? Beberapa orang dengan berani mengklaim bahwa Tuhan menginginkan begini dan begitu. Bahwa tafsiran mereka akan Tuhan adalah yang paling benar dan terbaik. Bagaimana bisa mengklaim kebenaran jika mereka tidak mengkonfirmasikannya langsung terhadap Tuhan?

Setiap homo sapiens memiliki 'Tuhan'. Bergantung pada definisi dan konsep yang ia miliki. Atheis tak punya 'Tuhan'? Bisa jadi mereka menuhankan pemikiran mereka sendiri. Jadi, ketika membaca tulisan 'Tuhan' tafsirannya bisa sangat beragam.

Ketika seseorang mengakui adanya kekuatan Maha Besar bernama Tuhan, apakah otomatis ia menuhankan-Nya? Menuhankan dan menyekutukan Tuhan itu batasnya sangat tipis. Bisa jadi tanpa sadar kita menuhankan tafsiran kita sendiri akan Tuhan dan ayat. Kebanyakan manusia jaman modern seolah tak bisa hidup tanpa uang. Sehingga seolah seluruh hidupnya akan ditentukan oleh benda bernama uang--Padahal sistem uang merupakan sistem yang dibuat oleh manusia sendiri.-- Berapa banyak manusia yang menjalan ritual ibadah tapi masih memiliki kesedihan akan masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan? Sehingga seolah tak percaya bahwa ada Tuhan yang akan memberikan yang terbaik --tergantung tafsiranmu akan solusi terbaik juga :) --