Saturday, April 27, 2013

Atas Nama Sejarah


Dipimpin oleh dinasti Kim sebagai puncak pimpinan, Korea Utara merupakan negara yang unik. Guy Delisle, dalam komiknya berjudul "Pyongyang: A Journey in North Korea", menggambarkan betapa keluarga Kim sangat pandai memelihara mitos.

Mitos, oleh penguasa merupakan alat yang sudah sejak lama sengaja dipelihara untuk melegitimasi kekuasaan mereka atas rakyat. Semakin pandai rakyat, maka ia akan berpeluang lebih besar untuk menjadi penghalang bagi kekuasaan yang telah ada. Salah satu mitos yang masih saja dinikmati oleh rakyat terutama wanita adalah kisah tentang Kartini. Bung @zenrs telah menuliskan lakon Kartini di setiap zaman, bergantung kepentingannya.

Secara evolusi, manusia memiliki kecenderungan untuk mempercayai takhayul ataupun mitos. Penelitian Kevin R. Foster & Hanna Kokko, menunjukkan bahwa, proses seleksi alam telah 'mengijinkan' manusia untuk memercayai ketakutannya. Lalu menimbulkan takhayul ketika tak berupaya untuk membuktikan sendiri teori mereka. Pada manusia, penilaian kausalitas dan responnya terkait pada kompleksitas kemampuan bernalar dan penyebaran budaya.

Selama masyarakat Korea Utara dibatasi aksesnya dengan dunia luar, mereka akan merasa bahwa mereka baik-baik saja. Dengan memanfaatkan faktor ketakutan manusia & terbatasnya akses informasi dari luar, penguasa akan lebih mudah mengendalikan rakyat.

Jalur infiltrasi informasi yang paling massal adalah pendidikan formal serta media massa. Pada tahun 2010, terdapat 51.886.214 penduduk Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan formal. Pendidikan formal & media massa yang berbasis tulisan membuat informasi menjadi lebih 'awet' dibandingkan non tulisan. Berdasarkan pikiran saya, media tulisan akan membuat pembacanya memiliki ruang penafsiran sendiri. Akan tetapi, selama menjalani sekolah sejak TK hingga S1, realita yang ada berbeda. Kurikulum kita, somehow, terasa memaksakan pendapat kepada siswa. Hafalan lebih penting daripada pengembangan & connecting the dots diantara berbagai ilmu. Seingat saya, nyaris tak ada guru yang menjelaskan pentingnya mempelajari tiap ilmu & apa pengaruhnya bagi hidup kita.

Di tengah karut marutnya insitusi pendidikan (sekolah), tersisa harapan saya pada institusi yang lebih kecil, keluarga. Kurikulum boleh amburadul, tapi pendidikan dalam keluarga jangan. Membayangkan jika ortu atau calon ortu tak membekali diri dengan kemampuan mendidik, membuat saya bergidik. Ngeri.
"Barn gör som du gör, inte som du säger." Children do as you do, not as you say. [Swedish proverb]
Proses mendidik, tak semudah hanya berbicara kepada objek didik. Ia merupakan sebuah proses yang terintegrasi. Salah satu contoh kasus soal pendidikan yang membuat saya tertarik adalah "cita-cita". Romantisme cita-cita oleh para motivator membuat saya jengah. Ini tak seperti sewaktu kita kecil ketika ditanya cita-cita. Kebanyakan ucapan anak-anak tidak memiliki konsekuensi. Mudah hilang begitu saja, mudah terucap begitu saja.

Mewujudkan cita-cita tak semudah "menulis di atas kertas, lalu gantung di tempat di tempat yang terlihat, voila! Mimpi itu jadi kenyataan". Film "Cita-citaku Setinggi Tanah" karya Satriono & Eugene Panji menjelaskan dengan apik fenomena ini. Yang jadi masalah adalah ketika membuat cita-cita lalu tak membekali diri dengan baik. Pembekalan diri termasuk mengenal diri sendiri; mengenal lingkungan; membaca peluang; memetakan kondisi & pelaku yang sudah ada; serta membuat alternatif cara.

Ironisnya, banyak orang tua yang menasehati bahwa pendidikan (formal) adalah satu-satunya cara untuk mencapai cita-cita. Berprestasi menjadi juara kelas, toh, tak selamanya mendekatkan dengan cita-cita. "Kamu harus dapat nilai bagus supaya jadi orang sukses", begitu? Sukses berdasarkan definisi siapa?

Sukses berdasarkan gambaran saat ini, pada umumnya adalah meraih penghargaan dari manusia lain. Apalagi jika mendapat liputan media. Dirasa sebagai bentuk diakui dalam narasi sejarah, mungkin? Hmmm, berdasarkan asumsi saya, ada sekitar 80% manusia (bahkan lebih) yang menginginkan pengakuan dari manusia lain. bentuk pengakuan tersebut tak selamanya berbentuk pujian, bahkan sanggahan pun dirasa dapat membantu, terkadang.

Bentuk narasi sejarah, termasuk liputan media, bisa dibentuk oleh siapapun yang memegang kendali. The invisible hands ini, yang menentukan nilai baik dan buruk yang ada di masyarakat. Mereka pula yang menentukan bahwa Anda memiliki citra publik yang baik atau buruk. Menarik untuk mengetahui bahwa tafsir baik dan buruk ditentukan oleh spesies yang sama.

Bahayanya, karena haus perhatian dari manusia lain, terkadang sebagian manusia membuka data-data personal mereka di internet. Kita tak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran manusia lain yang membaca data itu & apa tujuannya. Kecuali, jika benar yang diungkapkan Sujiwo Tedjo, bahwa kita 'hanya' masyarakat data. Masyarakat data mengembangkan euforia atas pengetahuan mereka terhadap data. Tanpa merangkai data tersebut sebagai sebuah informasi yang bermanfaat. Data smog.

NB: Gambar diambil dari sini

2 comments:

  1. Pyongyang: A Journey in North Korea

    (Mbak mutya komik'y ini bisa di lihat di mna)

    Dan ditunggu kujungan baliknya ya : http://azhar-war3.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. Halo Azhar. Komiknya saya dapat dari teman. Kalau Azhar mau, nanti bisa saya kirim via email. Kasih saja email Azhar.

    ReplyDelete