Sunday, February 6, 2011

Lessons Learned From Al Baqarah 40-50 (Taken From Al Mishbah)



Ayat 40-74 merupakan kelompok ayat yang berbicara tentang nasihat dan peringatan yang diberikan kepada Bani Israil. Karena terlalu panjang, maka saya akan membaginya dalam 3 bagian.

Ayat 40:

Hai Bani Isra'il, renungkanlah betapa banyak dan agung nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan nenek moyang kamu. Dan penuhilah janji kamu kepada-Ku yaitu mengikuti tuntunan-Ku dan tuntunan para Nabi yang Ku-utus sebelum Nabi Musa as dan sesudahnya, niscaya kalau kamu memenuhi janji-janji itu Aku penuhi pula janji-Ku kepada kamu; dengan memberi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia serta ganjaran dan surga di akhirat nanti. Janganlah takut kepada iapa pun, dan hanya kepada-Ku lah kamu harus takut (tunduk).


Isra'il adalah Ya'qub putra Nabi Ishaq yang merupakan putra Nabi Ibrahim as.

Mengingat, dapat dilakukan dengan lidah maupun dengan hati, bahkan dengan perbuatan.

Nikmat yang diperintahkan untuk diingat oleh ayat ini adalah nikmat petunjuk agama, yang merupakan nikmat paling pokok. Ada juga yang memahami kata nikmat disini dalam arti umum, yakni segala macam nikmat-Nya.

Nikmat adalah segala sesuatu yang positif yang diraih manusia. Nikmat yang telah diperoleh Bani Isra'il antara lain aneka anugerah; penyelamatan dari siksa Fir'aun dan malapetaka lainnya; pengampunan Allah atas berbagai dosa; banyaknya jumlah Nabi yang diutus dari kalangan Bani Isra'il, jika dibandingkan dengan nabi yang diutus kepada umat yang lain.

Perintah mengingat nikmat Allah swt antara lain bertujuan mengikis habis rasa dengki dan iri hati yang menyelubungi jiwa Bani Isra'il. Mereka iri kepada Nabi Muhammad saw. setelah sebelumnya mereka mengharap nabi yang akan diutus adalah dari kelompok mereka.

Kalimat ni'matii allatii an'amtu 'alaikum/nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu menggarisbawahi dua hal, yaitu:
1) Nikmat itu adalah milik-Nya semata dan berada di sisi-Nya tidak pada selain-Nya.
2) Nikmat itu adalah anugerah-Nya yang bersumber dari-Nya semata, bukan karena hasil upaya Bani Isra'il

Maka, sangatlah wajar bagi mereka untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan-Nya yang disimpulkan dengan penggalan ayat penuhilah janji-Ku.

Janji Bani Isra'il antara lain tunduk patuh kepada Allah, memercayai para rasul yang diutus-Nya, termasuk mengakui dan membela Nabi Muhammad saw.

Penggunaan kata 'ahd/perjanjian dinilai Thahir Ibn 'Asyuur sebagai salah satu aspek kemukjizatan al-Qur'an. Karena, kata tersebut merupakan kata yang digunakan Bani Isra'il dalam Taurat. Tetapi, itu hanya dikenal oleh para pemuka agama Yahudi yang bersikap sangat tertutup.

Kalimat wa iyyaaya farhabuun/hanya kepada-Ku kamu semua harus takut ditekankan disini karena boleh jadi diantara mereka yang tidak melaksanakan janji itu karena takut dikecam, disiksa, atau melupakan ancaman siksa Allah.

Siapa yang takut kepada Allah, Allah menjadikan segala sesuatu takut kepada-Nya. Dan siapa yang takut kepada selain Allah, Allah menjadikan dia takut kepada segala sesuatu, bahkan kepada bayangannya sendiri.

Ayat 41:

Ayat ini masih berkaitan dengan ayat 40 yang mengajak Bani Isra'il untuk memeluk Islam.

Penggalan ayat wa aaminuu bi maa anzaltu mushadiqqan limaa ma'akum/ dan berimanlah kepada apa yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa yang ada pada kamu merupakan ajakan untuk beriman kepada Al Qur'an sekaligus bukti yang dikemukakan kepada Bani Isra'il. Ak Qur'an membenarkan kitab Taurat, Zabur, dan apa yang telah diterima Bani Isra'il. Termasuk apa yang mereka sembunyikan dan yang termaktub dalam kitab mereka tetapi telah mereka ubah.

Persamaan dan pembenaran al Qur'an terhadap apa yang ada pada Bani Isra'il menjadi bukti kebenarannya bagi Ahl al-Kitaab, khususnya yang tidak fasih berbahasa Arab, sebagaimana keindahan susunan kata-katanya, merupakan bukti bagi orang-orang yang mendalami segi sastra bahasa. 

Penggunaan kata apa yang telah Aku turunkan, bukan dengan menyebut langsung nama Al Qur'an, bertujuan di samping menegaskan bahwa Al Qur'an bersumber dan diturunkan oleh Allah, juga mengisyaratkan mengapa mereka harus memercayainya. [Thahir Ibn 'Asyur]

Setelah diajak beriman, Bani Isra'il diminta agar tidak menjadi orang pertama yang mengingkari ayat-ayat Al Qur'an yang diturunkan Allah. Arti kata pertama di ayat ini bukan yang paling dahulu, tetapi maknanya adalah yang tampil paling depan dan giat mengingkarinya.Ada juga ulama yang memahami kata orang yang pertama mengingkarinya dalam arti mengingkari kitab Taurat. Tapi pendapat tersebut tidak dianut banyak ulama.

Tujuan pengungkapan potongan ayat wa laa takuuna awwala kaafirin bihi/dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya (Al Qur'an) adalah kecaman kepada Bani Isra'il atas keterlambatan memeluk Islam sekaligus anjuran untuk segera memeluknya.

Para pemuka agama Yahudi diingatkan agar tidak menukar ajaran agama dengan kemegahan duniawi karena betapapun banyaknya kemegahan duniawi yang mereka terima adalah sedikit dan murah dibanding dengan apa yang akan mereka bayar yakni kesengsaraan duniawi dan ukrawi.

Ayat 40 ditutup dengan perintah takut kepada Allah, dan ayat 41 ditutup dengan perintah bertakwa karena takut kepada-Nya merupakan salah satu cara untuk taat melaksanakan perintah dan patuh menjauhi larangan. Rasa takut & cinta merupakan faktor utama yang menciptakan rasa keberagamaan.

Setelah melarang terjerumus ke dalam kesesatan, tuntunan selanjutanya melarang mereka menyesatkan orang lain.

Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai salah satu dasar melarang menerima upah mengajar Al Qur'an, bahkan agama. Pendapat ini menurut Quraish Shihab terlalu dipaksakan. Larangan menerima upah untuk mengajar Al Qur'an bukanlah pendapat yang kuat. Mayoritas ulama a.l. Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad, sejak dahulu memperbolehkan seseorang untuk menerima upah dalam mengajar Qur'an. Salah satu alasan mereka adalah sabda Nabi melalui Ibn 'Abbas ra. yang menyatakan bahwa: "Sesungguhnya yang paling wajar kamu ambil sebagai upah adalah mengajar kitab Allah." Ibn Rusyd menyatakan bahwa sepakat para pakar hukum Madinah membenarkan perolehan upah mengajar Al Qur'an dan agama. Sebenarnya, penggalan ayat ini tidak bermaksud kecuali melarang menukar dan atau mengabaikan ayat-ayat Allah dengan memeroleh sesuatu imbalan.Agaknya ini merupakan kecaman kepada pemuka-pemuka agama Yahudi yang menuntut imbalan atas fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ajaran agama. Ini jelas berbeda dengan mengajar membaca Al Qur'an atau menjelaskan kandungannya. Pengajaran kitab suci dengan menerima upah bukanlah menukar atau mengabaikan ayat-ayat itu tetapi justru menyebarluaskannya dan mengukuhkan pemahaman tuntunannya kepada yang diajar.

Ayat 42:

Ayat ini melarang Bani Isra'il menyesatkan setelah pada ayat 42 muncul larangan untuk terjerumus dalam kesesatan.

Ada dua cara yang biasa dilakukan oleh para penyesat untuk mencapai tujuannya, yaitu:
1) Mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil, contohnya propaganda yang menyelipkan kebohongan dengan cara yang sangat halus sehingga tidak dapat dirasakan kecuali oleh mereka yang sangat jeli.
2) Menyembunyikan yang haq padahal mengetahui. Hal ini dapat dilakukan dengan mengingkarinya atau tidak menyampaikannya saat dibutuhkan. Diamnya seseorang yang tahu tentang satu persoalan, saat penjelasan menyangkut persoalan itu dibutuhkan, merupakan salah satu bentuk dari penyembunyian kebenaran. *Lho, berarti taktik ini tidak bisa digunakan ketika berdiplomasi?*

Kedua hal di atas dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Yang pertama mereka lakukan dengan mengubah sekian ayat dari kitab Taurat dan memasukkan yang bukan firman Allah ke dalamnya seraya menyatakan bahwa itu adalah firman-Nya. Cara yang kedua ditempuh dengan menyembunyikan sekian ayat, antara lain tentang kenabian Muhammad saw.

Ini mengisyaratkan bahwa dalam Taurat yang ada di tangan Yahudi terdapat kebenaran dan kebatilan yang bersumber dari hasil nalar yang keliru dan nafsu yang sesat.

Kalimat wa antum ta'lamuun/sedang kamu mengetahui merupakan gambaran tentang keadaan Bani Isra'il yang sebenarnya, dan ini menjadi kecaman yang lebih besar bagi mereka. Seandainya mereka tidak tahu, boleh jadi dosa mereka hanya karena tidak mau bertanya *Apakah ini berarti bahwa kita harus bersikap kritis jika tidak mengetahui sesuatu hal?*. Padahal mereka tahu lalu menyembunyikannya. *Apakah ayat ini juga merupakan isyarat untuk mengajarkan agama kepada mereka yang 'tidak mengetahui' alias berdakwah?*

Ayat 43:

Setelah mengajak memeluk Islam dan meninggalkan kesesatan dan penyesatan, perintah utama setelah larangan itu adalah melaksanakan shalat dengan sempurna memenuhi rukun dan syarat secara berkesinambungan dan menunaikan zakat secara sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta sampaikanlah zakat tersebut dengan baik kepada yang berhak menerimanya.

Dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis. Shalat untuk hubungan baik dengan Allah swt. dan zakat pertanda hubungan harmonis dengan sesama manusia. Kewajiban lainnya yang dicakup oleh kalimat rukuklah bersama orang-orang yang rukuk memiliki arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama orang-orang yang taat dan tunduk.

Perhatikan urutan tuntunan yang disampaikan pada ayat 40-43. Awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi; dipertengahan dikemukakan tugas-tugas, baik yang bersifat imaniyah maupun badaniyah dan maliyah (harta benda) yang pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh manusia, walaupun pada mulanya ditujukan kepada Bani Isra'il; lalu pada akhir kelompok ayat ini dikemukakan perintah untuk tunduk dan patuh kepada-Nya.

Ayat ini juga merupakan sindiran kepada kaum munafik. Untuk membuktikan kebenaran ucapan mereka pada Al Baqarah ayat 8, kaum munafik dituntut untuk melaksanakan shalat karena shalat adalah aktivitas yang menunjukkan pengagungan kepada Allah semata dan sujud kepada-Nya merupakan bukti pengingkaran terhadap berhala. Menyisihkan sebagian harta melalui zakat secara tulus juga tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang percaya pada Hari Kemudian, lebih-lebih bila disalurkan kepada upaya mengukuhkan agama atau menghadapi musuh-musuh Allah dan rasul.

Perintah beriman merupakan perintah untuk meninggalkan kesesatan dan larangan mencampuradukkan yang haq dengan yang batil serta menyembunyikan kebenaran merupakan perintah untuk meninggalkan penyesatan terhadap orang lain.  

Ayat 44:

Ayat ini mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi yang sering kali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya [Al Biqa'i]

Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang Yahudi yang menyuruh keluarganya yang telah memeluk Islam agar mempertahankan keyakinan mereka dan terus mengikuti Nabi Muhammad saw. Terhadap merekalah ayat ini turun. Demikian menurut satu pendapat. Ayat ini juga dapat mencakup kasus lain, yakni bahwa di antara Bani Isra'il ada yang menyuruh berbuat aneka kebajikan, seperti taat kepada Allah, jujur, membantu orang lain, dsb. Tetapi mereka sendiri durhaka, menganiaya, dan khianat. Terhadap mereka juga kecaman ayat ini ditujukan.

Tindakan demikian merupakan perbuatan yang buruk. Padahal mereka membaca Taurat yang mengandung kecaman terhadap mereka yang hanya pandai menyuruh tanpa mengamalkan.

Ayat ini mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Walaupun ayat ini turun dalam konteks kecaman kepada para pemuka Bani Isra'il,  ia tertuju pula kepada setiap orang terutama para muballigh dan para pemuka agama.

Dakwah adalah ucapan dan perbuatan. Kalau arah perbuatan berlawanan dengan arah ucapan, ia bukan lagi dakwah yang direstui Allah, bahkan ia telah mengundang murka-Nya. Di sisi lain, jika ucapan yang diajarkan muballigh berbeda dengan pengamalan kesehariannya, keraguan bukan saja tertuju kepada muballigh, tetapi juga dapat menyentuh ajaran yang disampaikannya.

Al islaamu mahjuubun bil muslimiin/ keindahan Islam ditutupi oleh ulah orang-orang Islam ['Abduh]

Kalimat tidakkah kamu berakal memiliki arti tidakkah kalian memiliki kendali yang menghalangi diri kalian terjerumus dalam dosa dan kesulitan?

Agama menganjurkan hubungan yang serasi dengan Allah, sesama manusia, lingkungan dan diri sendiri.

Ayat ini bukan berarti bahwa seseorang yang tidak mengerjakan kebajikan yang diperintahkannya otomatis dikecam Allah. Quraish berpendapat bahwa seseorang baru dikecam apabila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan anjurannya. Orang tersebut juga dikecam kalau tidak mengingatkan dirinya sendiri tentang perlunya melaksanakan apa yang diperintahkannya itu. Jika ia telah berusaha mengingatkan dirinya, dan ada pula keinginan untuk melaksanakannya, tidaklah wajar ia dikecam, walau seandainya ia belum melaksanakan tuntunan yang disampaikannya.

Ayat 45:

Ayat ini menuntun dan menuntut seluruh manusia agar membekali diri dengan kesabaran dan doa.

Thahir Ibn 'Asyur menulis bahwa ayat ini ditujukan kepada Bani Isra'il sebagai petunjuk guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat lalu. Kemudian memberikan resep bagi mereka agar dapat menuju kebaikan, yaitu melalui shalat dan sabar.

Ada juga ulama yang memahami ayat di atas sebagai tuntunan kepada kaum muslimin yang taat, baik bagi yang melaksanakan shalat dengan baik maupun bagi yang tidak melakukan shalat sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Quraish memahami ayat ini ditujukan juga kepada orang Yahudi karena terdapat kata dan pada awal ayat yang menunjukkan hubungan dengan uraian ayat yang lalu.

Apa pun hubungannya, ayat ini memerintahkan: Mintalah pertolongan, yakni kukuhkan jiwa kamu, dengan sabar, yakni menahan diri dari rayuan menuju nilai rendah dan dengan shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah swt. serta bermohon kepada-Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala beban. Dan sesungguhnya yang demikian itu, yakni shalat dan sabar itu atau beban yang akan kamu pikul sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yakni orang-orang yang tunduk dan yang hatinya merasa tentram dengan berdzikir kepada Allah.

Kata ash-shabr/sabar artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Ia juga berarti ketabahan. Imam Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.

Secara umum, kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok:
1) Sabar jasmani yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh
2) Sabar ruhani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan.

Ash-Shalah dari segi bahasa adalah doa dan dari segi pengertian syariat Islam ia adalah "ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam". Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunia-Nya, mengingat Allah, dan karunia-Nya mengantar seseorang terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta mengantarnya tabah menerima cobaan atau tugas yang berat. Jadi, shalat membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka.

Ayat di atas dapat bermakna:
1) Mintalah pertolongan kepada Allah dengan jalan tabah dan sabar menghadapi segala tantangan dengan melaksanakan shalat, atau
2) Jadikanlah ketabahan menghadapi segala tantangan bersama dengan shalat, yakni doa dan permohonan kepada Allah sebagai sarana untuk meraih segala macam kebajikan.

Sabar dan shalat harus menyatu, sebagaimana diisyaratkan oleh penggunaan innahaa/sesungguhnya ia, bukan innahumaa/sesungguhnya keduanya. Ada juga yang memahami innahaa menunjuk kepada tuntunan-tuntunan Allah yang disebut pada ayat-ayat lalu.

Khusyu' adalah ketenangan hati dan keengganan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan. Yang dimaksud orang-orang khusyuk oleh ayat ini adalah mereka yang menekan kehendak nafsunya dan membiasakan dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah serta selalu mengharapkan kesudahan yang baik. [Thahir Ibn 'Asyur]

Ayat ini tidak membatasi kekhusyukan hanya dalam shalat, tetapi juga menyangkut segala aktivitas manusia. Kekhusyukan dalam shalat tidak selalu berarti hilangnya segala iengatan kecuali kepada Allah swt.

Ayat 46:

Ayat ini menjelaskan sifat orang yang dapat melaksanakan tuntunan sabar dan khusyuk yaitu orang-orang yang yazhunnuun bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.

Ada tiga pendapat dalam memahami anak kalimat yazhunnuun yang terambil dari kata zhann, yaitu:
1) Zhann dipahami sebagai dugaan keras, seperti makna kebahasaan kata itu, walaupun belum sampai tingkat yakin.
 2) Zhann dipahami dalam artian yakin. Pada umumnya yang mengambil pendapat ini akan memaknai mulaaquu rabbihim dengan mempercayai keniscayaan hari Kemudian karena menurut mereka objek iman tersebut harus dipercayai dengan sempurna tidak cukup sekadar dugaan.
3) Memahami zhann dalam arti kebahasaannya dan memahami kalimat mulaaquu rabbihim (menemui Tuhan mereka) dalam arti Hari Kemudian. Menurut penganut pendapat ini, dengan menggunakan kata menduga keras, tergambar toleransi Allah terhadap bisikan-bisikan hati, yang sesekali timbul dalam benak mempertanyakan objek-objek keimanan. Bisa jadi yang bersangkutan berada dalam suasana keraguan, atau sedikit di atas keraguan sehingga menjadi dugaan, dan bisa jadi lebih rendah dari keraguan sehingga menjadi waham. Ayat di atas menoleransi keyakinan yang melebihi tingkat keraguan, yakni dugaan, walaupun belum sampai pada keimanan penuh dan kyakinan bulat. Jarak antara keyakinan penuh dan dugaan itulah tempat pertanyaan-pertanyaan sesekali muncul.

Ada juga yang memahami mulaaquu rabbihim dalam arti perolehan ridha-Nya.

Yang memahami menemui Tuhan mereka, dalam arti menemui ganjaran dan ridha-Nya, berpendapat bahwa penggalan ayat ini menggambarkan optimisme yang menyelubungi jiwa orang-orang yang khusyuk terhadap ganjaran yang akan mereka terima kelak. Kata menduga keras, jika objeknya seperti yang dikemukakan ini, cukup beralasan karena dari satu sisi, tidak seorang pun yang dapat memastikan atau yakin bahwa dia akan dapat menemui Allah dalam keadaan Yang Mahakuasa itu ridha kepadanya; dan di sisi lain, iman adalah perpaduan antara harapan dan kecemasan, rasa tenang dan takut.

Mengapa orang-orang yang meyakini adanya Hari Pembalasan, atau yang menduga keras keniscayaannya atau ganjaran Ilahi, dikecualikan dari rasa beratnya shalat dan sabar? Para ulama menjawab karena yang tergambar dalam benak mereka ketika itu adalah ganjaran Ilahi, dan ini menjadikan mereka menilai ringan beban dan cobaan-cobaan yang mereka alami.

Ayat 47:

"Hai Bani Isra'il, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan (ingat pula) bahwa Aku telah melebihkan kamu atas seluruh alam."

Ayat ini kembali mengajak Bani Isra'il tentang nikmat-Nya agar lebih mendorong mereka untuk bersyukur, sekaligus mengaitkan penyebutan nikmat ini dengan kecaman dan ancaman-Nya yang disebut pada ayat 48. Ingat, meskipun tuntunan dan kecaman pada ayat 46 tertuju pada semua manusia, namun dalam konteks turunnya ayat-ayat, is ditujukan kepada orang-orang Yahudi.

Kalimat kelebihan atas seluruh alam maksudnya adalah kelebihan yang Allah anugerahkan kepada Bani Isra'il dahulu pada masa anugerah itu diberikan. Yang dimaksud dengan kamu adalah orangtua dan leluhur Bani Isra'il, bukan masyarakat Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw. Memang, nikmat kepada orangtua dapat menjadi nikmat pula kepada anak keturunan, paling tidak anak keturunan memeroleh kebanggaan atas perolehan orangtua. Demikian pemahaman banyak ulama.

Dapat juga dipahami bahwa anugerah Allah terhadap Bani Isra'il, memang ada di antaranya yang tidak dianugerahkan kepada seluruh umat sepanjang masa hingga kini. Anugerah dimaksud adalah banyaknya para nabi yang diutus Allah kepada mereka.

Nikmat tersebut harus diyukuri, antara lain dengan tidak membedakan dari segi memercayainya antara seorang nabi dan nabi yang lain.

Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi, hikmah yang dapat ditarik dari ayat ini dan ayat-ayat semacamnya adalah bahwa Allah swt. memberi keutamaan kepada Bani Isra'il atas umat-umat terdahulu, tetapi mereka tidak mensyukurinya.

Ayat 48:

"Dan jagalah diri kamu dari satu hari (di mana) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan tidak juga diterima syafa'at dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan  ditolong"
Peringatan ayat ini bergabung dengan tuntunan yang lalu, karena kelebihan yang dianugerahkan kepada Bani Isra'il atas seluruh umat mengakibatkan mereka angkuh dan menduga bahwa mereka bebas dari siksa Allah atau paling tidak mereka tidak akan disiksa kecuali beberapa hari dan dengan siksaan yang ringan (baca Al Baqarah: 80)

Untuk itu mereka diperingatkan: Dan jagalah diri kamu dari siksa yang terjadi pada Hari Kiamat. Pada hari itu, seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikitpun. Dan jangan menduga bahwa orangtua, betapapun terhormat dan taatnya kepada Allah, berkemampuan untuk membela, tidak juga orang lain, karena ketika itu tidak juga diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong.

Syafa'at terambil dari akar kata yang berarti genap. Tidak semua orang mampu meraih apa yang ia harapkan. Ketika itu banyak cara yang dapat dilakukan, antara lain meminta bantuan orang lain. Jika apa yang diharapkan seseorang terdapat pada pihak lain, yang ditakuti atau disegani, ia dapat menuju kepadanya dengan "menggenapkan dirinya" dengan orang yang dituju itu untuk bersama-sama memohon kepada yang ditakuti dan disegani itu. Orang yang dituju itulah yang akan mengajukan permohonan dengan kata lain menjadi penghubung untuk meraih apa yang diharapkan. Upaya melakukan hal tersebut dinamai syafa'at.

Di akhirat, yang mengajukan permohonan syafa'at harus mendapat izin dari Allah swt. untuk memohonkan syafa'at, dan izin itu baru diberikan setelah Allah menilai bahwa yang memohon dan yang dimohonkan wajar untuk memberi dan mendapat syafa'at, dan tentu saja apa yang dimohonkan adalah sesuatu yang hak.

Ada tiga pendapat mengenai pembelaan dan syafa'at yang dinafikan dalam ayat ini:
1) Ada ulama yang memahami ayat ini dan semacamnya ditujukan kepada orang kafir sehingga pembelaan dan syafa'at yang dinafikan adalah yang bersumber dari orang-orang kafir kepada orang kafir.
2) Pendapat yang menyatakan bahwa pembelaan dan pemberian syafa'at yang dinafikan adalah dari siapapun, walau mukmin, kepada orang kafir
3) Pendapat yang menafikan secara mutlak adanya pembelaan dan syafa'at dari siapa pun dan untuk siapa pun.

Meskipun ada yang menggunakan pendapat ketiga, terdapat ayat-ayat lain yang mengisyaratkan adanya syafa'at seperti Az Zukhruf: 86 dan Saba': 23 serta didukung oleh hadits shahih yang berjumlah tidak sedikit yang menegaskan adanya syafa'at.

Ulama sepakat tentang adanya syafa'at bagi mereka yang taat dalam meningkatkan derajat mereka, serta bagi mereka yang taubat, tetapi sementara ulama dari kelompok Mu'tazilah menolak adanya syafa'at bagi mereka yang melakukan dosa besar. Mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil karena bentuk nakirah (indefinite) yang digunakan ayat ini pada kata nafs (seseorang). Makna keumuman tersebut tetap berlaku sehingga syafa'at di hari Kemudian tidak akan diperoleh oleh siapapun atau tidak akan diperoleh oleh mereka yang melakukan dosa besar, serupa dengan yang dibicarakan oleh ayat ini. Apalagi, kata mereka, sekian banyak ayat serupa yang secara tegas menafikan adanya syafa'at seperti Q.S. Al Mu'min:18 atau Q.S Al Muddatstsir: 48.

Kelompok Ahl as-Sunnah berpendapat bahwa kendati ayat ini dan ayat-ayat lain yang tampak secara lahir menafikan syafa'at secara umum, terdapat sekian ayat dan hadits Nabi saw. yang membatasi keumuman tersebut antara lain Q.S Al Anbiya': 28 dan Q.S Saba': 23.

Quraish berkesimpulan bahwa syafa'at yang dinafikan adalah terhadap mereka yang kafir dan tidak semua dapat menerima bahkan memberi syafa'at. Memberi dan menerima syafa'at haruslah atas izin Allah dan keputusannya pun adalah keputusan yang haq lagi bijaksana sebagaimana ditegaskan Q.S Saba': 23.

Ayat 49:

"Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir'aun; mereka menimpakan kepada kamu siksaan yang seberat-beratnya; mereka menyembelih anak-anak kamu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anak kamu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Tuhan kamu."

Ayat ini menyuruh Bani Isra'il mengingat nikmat berupa penyelamatan dari petaka yang pernah menimpa leluhur mereka dengan tujuan menggugah hati orang yang durhaka untuk menghentikan kedurhakaannya.

Kata najjainaakum/menyelamatkan kamu terambil dari kata an-najaat, yaitu mengangkat ke tempat yang tinggi. Ini karena siapa yang berada di tempat yang tinggi tidak mudah terjangkau oleh musuh. Atau, dengan kata lain, dia dapat selamat dan terhindar dari bahaya. Kata najjainaakum mengandung makna berulang-ulangnya penyelamatan itu.

Redaksi najjainaakum dalam ayat 49 mengandung makna pemberian keselamatan saat turunnya siksa sehingga mereka terhindar dari siksa, sedangkan redaksi anjainaakum pada Q.S. Al A'raf: 141 adalah pemberian keselamatan dengan cara menjauhkan siksa tersebut secara keseluruhan. Maka, ada dua anugerah Allah kepada Bani Isra'il dalam konteks penyelamatan, yaitu:

1) Menghindarkan sebagian dari mereka dari siksa. Konon, Fir'aun selama setahun memerintahkan untuk membunuh semua anak lelaki yang lahir pada tahun itu, dan membiarkan hidup yang lahir pada tahun berikutnya, demikian silih berganti. Nabi Harun as lahir pada tahun penyelamatan anak lelaki, sedang Nabi Musa as. pada tahun pembunuhan anak lelaki.
2) Keruntuhan rezim Fir'aun dan kematiannya sehingga terhenti penindasan yang mereka lakukan terhadap Bani Isra'il

Kata aal menurut banyak ulama berasal dari kata ahl, yaitu keluarga. Aal dalam ayat ini adalah keluarga, pengikut, dan rezim Fir'aun. Menurut Al Biqa'i aal pada mulanya berarti fatamorgana. Jadi, ketika ayat ini menyatakan al Fir'aun, maka mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga dan pengikut Fir'aun menampakkan kepribadian Fir'aun.

Fir'aun adalah gelar penguasa tertinggi Mesir, yang digunakan Al Qur'an untuk menunjuk penguasa Mesir yang bersikap angkuh dan kejam. Karena itu penguasa Mesir pada masa Nabi Yusuf as. tidak digelari Fir'aun tetapi Malik/raja. (baca QS Yusuf: 50 & 70)

Para pakar sejarah meyakini bahwa kehadiran Bani Isra'il di Mesir dimulai dengan kehadiran Nabi Yusuf yang ketika itu ditemukan oleh serombongan kafilah di sumur tua lalu dijual kepada Taifur, Kepala Polisi Mesir.

Ketika itu, Mesir terbagi atas dua bagian besar yaitu:
1) Bagian selatan yang disebut Upper Egypt yang kini populer dengan nama Ash Sha'id
2) Bagian utara dengan ibu kota Manfis *Apakah ini sama dengan yang disebut Memphis?*, sekitar 30 km dari Kairo. Mesir Utara ini dikalahkan oleh Heksos.

Terjadi perbedaan pendapat diantara sejarahwan tentang kapan Heksos dan Nabi Yusuf memerintah. Tetapi, yang hampir disepakati adalah kekuasaan Heksos berakhir sekitar 1700 SM. Sedangkan menurut kamus Al Munjid mereka memerintah antara 1650-1560 SM, sebelum mereka dikalahkan oleh Ahmus pendiri Dinasti ke XVII.

Menurut Thahir Ibn 'Asyur, Nabi Yusuf kemudian menjadi Kepala Badan Logistik Pemerintahan pada masa Heksos. Nama penguasa Mesir ketika itu adalah Abufeis atau Abibi, sekitar 1739 SM. Karena itulah Bani Isra'il bebas dan memiliki pengaruh di Mesir serta hidup tenang selama 400 tahun. Agama dan adat istiadat mereka berbeda dengan orang Mesir.

Kemudian muncul Dinasti XVII yang mengusir Heksos dan menguasai seluruh Mesir. Ramsis II atau Ramses al Akbar merupakan penguasa Dinasti XVII yang paling populer. Menurut kamus Al Munjid, Ramsis II naik tahta sekitar 1311 SM. Pada masanyalah terjadi penindasan terhadap Bani Isra'il karena mereka dituduh akan melakukan makar terhadap Ramsis II atau akan membantu Heksos yang mempunyai hubungan darah dengan Bani Isra'il dan orang Arab. Fir'aun Ramsis membuat Bani Isra'il bekerja secara paksa, membunuh anak lelaki mereka dan membiarkan hidup dengan hina anak perempuan mereka.

Dalam beberapa kitab tafsir, dikemukakan bahwa Fir'aun bermimpi bahwa kekuasaannya akan diruntuhkan oleh salah seorang putra Bani Isra'il. Ada juga yang berpendapat bahwa para pemuka agama Mesir kuno memfitnah Bani Isra'il, karena mereka enggan melihat Bani Isra'il menganut ajaran agama yang berbeda dengan ajaran agama mereka.

Kata yastahyuun/membiarkan hidup dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa perbuatan al Fir'aun bukanlah karena kasih sayang terhadap para wanita, tetapi untuk tujuan penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap kehormatan para wanita Bani Isra'il. Ada juga ulama yang memahami kata yastahyuuna terambil dari kata al hayaa'/malu dalam arti mempermalukan mereka atau memeriksa kemaluan mereka untuk mengetahui apakah mereka mengandung. Pendapat terakhir ini dinilai banyak pakar sebagai pendapat yang lemah.

Kalimat "Sungguh hal tersebut merupakan sesuatu ujian/cobaan yang berat dari Tuhanmu" karena bila penindasan itu berlanjut, ia dapat memunahkan keturunan mereka. Penyelamatan itu juga merupakan ujian, apakah mereka mensyukurinya atau tidak.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa ujian bukan hanya terbatas dalam bentuk hal-hal yang merugikan atau yang dinilai negatif oleh seseorang, tetapi dapat juga berupa nikmat. Bentuk ujian yang pertama menuntut sabar, dan bentuk ujian yang kedua menuntut syukur. Biasanya menuntut syukur lebih berat daripada menuntut kesabaran.

Ayat 50:

"Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untuk kamu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan pengikut-pengikut Fir'aun sedang kamu sendiri menyaksikan"

Ayat ini masih menyuruh Bani Isra'il untuk mengingat nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada leluhur Bani Isra'il, yaitu ketika Allah membelah Laut Merah/Laut Qalzum untuk Bani Isra'il yang ketika itu bersama Nabi Musa as. meninggalkan Mesir menuju Sinai. *Mungkin inilah yang tersirat dalam kata najjainaakum pada ayat 49, yaitu dataran yang tinggi* Allah membelah Laut Merah agar Bani Isra'il dapat menyeberanginya dan terhindar dari kejaran Fir'aun dan para tentaranya. Kemudian Allah menyelamatkan badan Fir'aun agar menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya sebagaimana terbaca dalam Q.S. Yunus: 92

Sementara ulama memahami pembelahan laut dalam artian air surut setelah pasang sehingga tergolong peristiwa alam biasa. Tetapi, mayoritas ulama memahaminya dalam arti peristiwa luar biasa sebagaimana yang dapat dibaca dalam Q.S Asy Syu'araa': 63. Kalau peristiwa pembelahan laut itu merupakan peristiwa alam biasa, mengapa Allah memerintahkan Musa as. menggunakan tongkatnya? Demikian tulis Quraish Shihab.

Di atas terbaca bahwa mereka diselamatkan dari keluarga Fir'aun, bukan dari Fir'aun. Hal ini dikarenakan keluarga dan rezimnyalah yang membantu dan mendukung Fir'aun dalam kekejaman dan kedurhakaannya sehingga mereka juga harus ikut bertanggung jawab dan ikut mendapatkan sanksi. Fir'aun pun ikut tenggelam dan mendapat sanksi sebagaimana diuraikan pada QS Al Israa': 103. Boleh jadi juga Fir'aun tidak disebutkan di ayat ini karena badannya diselamatkan Allah swt, yang kemudian disimpan dalam museum Mesir di Kairo. Adapun tentaranya tidak diawetkan bahkan boleh jadi tenggelam ke dasar laut sehingga hanya mereka yang disebut oleh ayat ini. Demikian Al Qur'an membuktikan kebenaran dan ketelitiannya. Untuk jelasnya, baca QS Yuunus: 92.

Jadi, ayat 49-50 mengungkapkan nikmat keselamatan jasmani yang diterima oleh leluhur Bani Isra'il

***

Wallahu a'lam bishshawab. Kalau mau lihat postingan sebelumnya klik disini




No comments:

Post a Comment