Sunday, February 27, 2011

Lessons Learned From Al Baqarah 51-61 (Taken From Al Mishbah)



Ayat 51-52:

Al Biqa'i menyatakan bahwa ayat 50 berbicara tentang nikmat keselamatan jasmani, sedangkan ayat ini berbicara tentang keselamatan ruhani melalui kitab suci yang dijanjikan Allah kepada Musa as.

Tanda bahwa ayat ini masih merupakan lanjutan dari ayat-ayat yang lalu adalah penggunaan kata wa pada awal kalimat.


Ayat ini menyuruh *siapa yang disuruh? semua manusia, atau muslim, atau Banii Israa'il?* untuk mengingat nikmat Allah ketika berjanji kepada Musa dengan memberikan harapan setelah  bermunajat kepada Allah selama 40 malam. Lalu Allah anugerahkan kepadanya Kitab Suci untuk menjadi petunjuk bagi Banii Israa'il. Kemudian Banii Israa'il menajdikan anak lembu sebagai sembahan sesudah masa kepergian Musa as. Mereka yang menjadikan anak lembu sebagai sesembahan adalah orang-orang yang mantap kezaliman dalam jiwanya. Namun Allah masih memaafkan agar mereka bersyukur dan memperbaiki diri.

Kata waa'adnaa mengandung makna saling. Akar katanya adalah wa'd/janji sehingga kata tersebut secara harafiah berarti saling berjanji. Ada yang memehaminya dalam arti bahwa ada janji antara Allah dan Nabi Musa as. agar bermunajat, menghadapkan jiwa raga dan berdialog dengan Allah selama 40 malam, dan setelah selesai Allah akan memberinya kitab Taurat.

Ada juga yang memahami kata tersebut bukan dalam perngetian saling, tetapi hanya sepihak, yaitu Allah swt. berjanji menganugerahkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as. setelah ibadah 40 malam yang diperintahkan Allah kepada Musa.

Muusaa as adalah putra Imran, salah seorang nabi dan rasul yang diutus kepada Banii Israa'iil. Beliau lahir di Mesir dalam keadaan yati sekitar 1500 tahun sebelum kelahiran Isa as. Al Qur'an menginformasikan bahwa Beliau dilempar ke sungai Nil oleh ibunya (baca QS Al Qashash: 7) karena sang ibu khawatir Musa as dibunuh Fir'aun yang menindas Banii Israa'iil. (baca penjelasan ayat 49). Sementara ulama berpendapat bahwa kata Muusaa terdiri dari kata Mu yang berarti air dan sya (sa) yang berarti diselamatkan, atau pohon kayu, karena Muusaa as diselamatkan dari air atau melalui kotak yang terbuat dari kayu pohon bardi. Beliau wafat sekitar 1380 SM di dekat Jericho, Palestina.

40 adalah angka kesempurnaan menyangkut banyak hal dalam sekian banyak teks keagamaan, baik Al Qur'an maupun As Sunnah. Kesempurnaan umur manusia adalah 40 tahun (QS Al Ahqaaf: 15). Yang menghafal & mengamalkan 40 hadits akan dibangkitkan bersama para ulama (HR At Tirmidzi). Dikenal juga shalat 40 hari atau 40 waktu di Madinah, berdasar beberapa hadits walau nilainya masih diperselisihkan. Quraish menyatakan bahwa ia tidak mengetahui apa rahasia di balik 40 itu, namun yang jelas itulah angka yang disebut Allah dalam Al Qur'an sebanyak 4 kali dalam konteks yang berbeda-beda.

Penyebutan kata malam, bukan hari atau siang, mengisyaratkan bahwa malam adalah waktu yang paling baik untuk bermunajat menghadapkan diri kepada Allah karena keheningan & kegelapan malam serta ketiadaan aktivitas, membantu melahirkan ketenangan pikiran & kekhusyukan kepada Allah. *Eh, tapi sekarang kan ada beberapa profesi yang bekerja pada malam hari ya. Hmmm....*

Kata tsumma/kemudian pada kalimat tsumma ittakhadztum al 'ijla min ba'dihi/kemudian kamu menjadikan anak lembu sesudahnya menunjukkan betapa jauh peringkat dosa ini dibanding dosa-dosa yang lain. Dalam redaksi ayat 51 tidak disebutkan untuk apa lembu itu mereka jadian. Dari konteksnya & konteks ayat lain, dipahami bahwa mereka menjadikannya sebagai sesembahan. Agaknya, objek itu sengaja tidak disebutkan karena buruk & tidak logisnya perbuatan tersebut sehingga ia tidak wajar diabadikan. Penggalan kalimat ini merupakan tujuan utama uraian ayat & sebagai pendahuluan untuk menggambarkan betapa ampunan Allah sedemikian luas buat mereka. Dosa itu menjadikan Allah mengecap mereka sebagai orang-orang yang zalim.

Umat Muusaa as meniru orang-orang Kan'an yang mendiami daerah sebelah barat Palestina, Suriah, & Lebanon dalam menjadikan sapi sebagai sesembahan, yang mereka namai Ba'l.

Kata tsumma/kemudian pada kalimat tsumma 'afaunaa 'ankum/kemudian Kami memaafkan kamu menunjukkan betapa nilai pengampunan itu sedemikian tinggi & besar. Demikian Allah membuka kesempatan buat mereka untuk lahir & munculnya kebaikan dari mereka. 

Ayat 53:

Ayat ini merupakan perintah untuk mengingat nikmat Allah yang berupa tuntunan agama & kitab suci dengan berfirman: Dan ingat pulalah, ketika Kami berikan kepada Muusaa al Kitab (Taurat) & al Furqaan yang berfungsi sebagai pemisah antara kebenaran & kebatilan, atau mukjizat atau bukti yang sangat nyata tentang kebenarannya, agar kamu mendapat petunjuk menuju kebahagiaan dunia akhirat.

Al furqaan terambil dari akar kata yang bermakna membedakan. Furqaan adalah sesuatu yang membedakan antara dua hal atau lebih dengan sangat jelas & gamblang. Al Qur'an dinamai al Furqaan. Mukjizat juga dinamai Furqaan. Apabila kita memahami kata tersebut dalam arti mukjizat, maka ayat ini menginformasikan bahwa Nabi Muusaa as telah dianugerahi 2 hal, yaitu Taurat & mukjizat yang antara lain berupa tongkat Beliau. Tongkat itu Beliau gunakan sebagai bukti kebenaran, sekaligus berfungsi sebagai pembeda yang sangat jelas antara yang hak & yang batil; yang antara lain terlihat ketika Nabi Muusaa as menghadapi tantangan Fir'aun & para penyihirnya (baca QS Thaahaa: 56-72). Ada juga yang memahami kata al furqaan dalam ayat ini sebagai kitab suci Taurat itu sendiri. Ketika itu huruf wauw yang menghubungkan kata Al Kitaab & Al Furqaan diterjemahkan sebagai yakni.

Pendapat terakhir didukung oleh banyak ulama, sehingga dapat dipahami bahwa ayat ini merupakan lanjutan dari uraian tentang anugerah ruhaniah kepada Banii Israa'iil. Kata al furqaan dikemukakan untuk lebih memperjelas fungsi kitab suci Taurat itu agar mereka memanfaatkannya sebagai pemisah yang hak & yang batil, yang akan mengantar mereka mendapat lebih banyak petunjuk.

Dalam ayat 40-52 dapat terbaca bahwa Allah langsung berdialog & mengajak Banii Israa'iil. Hal tersebut merupakan suatu penghormatan, namun mereka enggan menyambut ajakan Ilahi.

Ayat 54:

Pada ayat ini, Banii Israa'iil diajak oleh Nabi Muusaa untuk bertaubat karena sesungguhnya kaum tersebut telah menganiaya diri mereka sendiri.

Penganiayaan memiliki bentuk yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat yang puncaknya adalah syirik. Kaum Muusaa as. dinilai telah menganiaya diri sendiri karena telah menjadikan anak lembu sebagai sesembahan.

Tuhan dalam ayat di atas ditunjuk dengan nama al Baari', yakni Pencipta makhluk dalam bentuk yang sangat harmonis. Manusia telah diciptakan dalam bentuk fisik & psikis yang harmonis yang seharusnya mengantar manusia bersyukur & mengabdi kepada Allah swt.

Lanjutan ayat ini menjelaskan cara bertaubat, yaitu "Bunuhlah diri kamu" yakni hendaklah yang tidak menyembah anak sapi membunuh yang pernah menyembahnya atau hendaklah masing-masing yang berdosa membunuh dirinya sendiri. Demikian ditemukan maknanya dalam riwayat-riwayat, yang sulit diterima oleh sementara nalar, sehingga sebagian ulama memahaminya dalam arti bunuhlah hawa nafsu kamu yang mendorong kepada kedurhakaan.

Menurut Quraish, kita tidak perlu memaksakan pengertian majazi seperti di atas. Sejak dahulu hingga kini, masih ditemukan orang-orang yang bersedia mengorbankan dirinya serta menghilangkan nyawanya, demi sesuatu yang mereka anggap luhur. Contohnya harakiri prajurit Jepang pada masa Perang Dunia; bom-bom yang diikatkan pejuang Palestina pada tubuh mereka sebagai bentuk perlawanan kepada Israel; upaya membakar diri sendiri sebagai bentuk protes. Semua itu, masih menurut Quraish, dapat menghilangkan keraguan memahami kata membunuh diri kamu pada ayat 54 dalam artinya yang hakiki.

Menghilangkan nyawa atas perintah Allah demi terhapusnya dosa-dosa & untuk meraih kedudukan tinggi di akhirat kelak ditegaskan Muusaa as sebagai sesuatu yang "Lebih baik bagi kamu di sisi al Baarii' kamu," yakni Tuhan yang menciptakan kamu dengan harmonis. [Quraish Shihab]

Quraish berpendapat bahwa wajar jika Allah meminta nyawa mereka dikembalikan kepada-Nya, karena keharmonisan yang telah Allah berikan sewaktu mencipta manusia telah mereka rusak dengan menyembah anak sapi. Merupakan wewenangnya apakah setelah itu Allah memperbaiki keadaan menjadi harmonis kembali atau tidak. Di sisi lain, Nabi Muusaa as. memberi harapan kepada mereka jika mereka tulus melaksanakan perintah itu, "Maka Allah akan menerima taubat kalian, sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat & Maha Pengasih."

Ayat 55-56:

Ayat ini menunjukkan bahwa kita maupun siapa pun untuk mengingat dosa dan keburukan Banii Israa'iil & berusaha untuk menghindari pengulangan perbuatan mereka.

Perhatikan ucapan Banii Israa'iil terhadap Nabi Muusaa as hanya dengan memanggil namanya. Itu dapat digolongkan dengan ucapan yang kasar. Keangkuhan mereka juga terlihat dengan permintaan untuk melihat Allah dengan terang sebagai syarat percaya kepada ucapan-ucapan Nabi Muusaa.

Kata tidak percaya yang mereka maksud bukan tertuju kepada pribadi Nabi Muusaa as tetapi kepada apa yang Beliau sampaikan. Meskipun dalam teks ayat di atas tidak ditemukan kata ucapan-ucapan karena idiom yang digunakan kata nu'minu adalah lam pada kata laka yang biasanya langsung menyebut obyeknya atau dengan menggunakan ba'.

Kata jahratan/terang-terangan yang digunakan ayat 55, untuk meyakinkan bahwa bukan sekedar pengetahuan tentang Tuhan yang mereka kehendaki, tetapi melihatnya dengan mata kepala. Syarat tersebut melampaui batas dan bukan pada tempatnya, karena itu mereka disambar halilintar, sedang mereka menyaksikan.

Yang dimaksud dengan halilintar oleh ayat 55 boleh jadi api yang membakar akibat pertemuan listrik positif & negatif di awan, boleh jadi udara yang tercemar akibat halilintar itu, atau suara halilintar.

Apapun yang terjadi, setelah peristiwa halilintar tadi, mereka dibangkitkan dengan kebangkitan yang terjadi dunia ini agar mereka bersyukur.

Apakah sambaran halilintar mengakibatkan tercabutnya nyawa mereka atau hilangnya semangat hidup mereka, ataukah halilintar itu menjadikan mereka jatuh pingsan tidak sadarkan diri hingga keadaan mereka serupa dengan orang mati, atau tidur, itu semua adalah aneka pendapat para ulama dalam memahami maksud ayat ini. Yang jelas bahwa, setelah peristiwa itu, Allah masih mencurahkan rahmat-Nya.

Ayat 57:

Ayat ini membahas tentang nikmat Ilahi yang Banii Israa'iil peroleh melalui awan, dipahami memiliki hubungan dengan ayat lalu karena penyebutan halilintar. Halilintar terjadi akibat benturan awan positif dan negatif.

Melalui ayat ini pula, Banii Israa'iil diingatkan bahwa Allah telah menaungi mereka dengan awan pada waktu mereka tersesat di padang pasir yang terik selama 40 tahun sebagaimana yang dijelaskan oleh QS Al Maa'idah: 26. Ketersesatan di padang pasir antara Syam (Palestina), Suriah, Lebanon, dan Mesir menimpa mereka ketika enggan memenuhi perintah Allah memerangi sekelompok orang durhaka di Syam (coba baca QS Al Maa'idah: 24). Awan yang menaungi mereka di tengah teriknya panas matahari itu adalah nikmat yang sungguh besar.

Kemudian Allah menurunkan al-mann & as-salwaa kepada mereka sehingga tidak perlu bersusah payah mencari makan di padang pasir itu. Allah memerintahkan mereka untuk memakan sebagian, meskipun bahan yang tersedia melimpah, untuk menjaga kesehatan mereka. *Apakah ini juga mengindikasikan bahwa 'harta' yang telah diberi Allah juga dimanfaatkan sebagian untuk diri dan sebagian untuk kelangsungan hajat hidup orang banyak?*

Al-mann adalah butir-butir merah yang terhimpun pada dedaunan yang biasanya turun saat fajar menjelang terbitnya matahari. Menurut Syaikh Mutawalli asy Sya'raawi, ulama Mesir ternama, sampai saat ini al-mann masih ditemukan di Irak. Banyak orang yang keluar pada pagi hari membawa kain putih yang lebar dan meletakkannya di bawah pohon, kemudian menggerakkan pohon itu agar butir-butir yang hinggap di pohon berjatuhan di atas kain. Thahir Ibn 'AAsyuur menjelaskan bahwa al-mann adalah salah satu bahan semacam lem dari udara yang hinggap di dedaunan. Rasanya manis bercampur asam, berwarna kekuning-kuningan. Banyak ditemukan di Turkistan & sedikit di tempat lain. Al-mann baru ditemukan di Sinai sejak masa Banii Israa'iil tersesat disana. Asy-Sya'raawi menilai al-mann sangat lezat bagaikan manisan dari madu. Dalam Perjanjian Lama, Keluaran XV dijelaskan juga tentang al-mann bahwa ia adalah sesuatu yang datang bersama embun pagi di sekeliling perkemahan mereka. Ia membeku dan halus seperti sisik. Sedang dalam Bilangan XI: 7 dijelaskan bahwa Al-Mann seperti ketumbar dan kelihatannya seperti damar bedolah. Banii Israa'iil memungut & menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam priuk & membuatnya menjadi roti bundar; rasanya seperti rasa panganan yang digoreng.

As-salwaa adalah sejenis burung. Sementara riwayat menginformasikan bahwa ia sebangsa puyuh yang datang berbondong-bondong, berhijrah dari satu tempat yang tidak dikenal dan dengan mudah ditangkap untuk disembelih & dimakan. Burung itu mati apabila mendengar suara guntur *Heu, padahal di ayat sebelumnya membahas halilintar. Ada apa dengan kedua fenomena ini ya?* karena itu as-salwaa berhijrah mencari daerah-daerah bebas hujan.

Semua nikmat itu ternyata tidak menjadikan mereka orang yang bersyukur bahkan terus melakukan dosa dan penganiayaan. Padahal, apa yang mereka lakukan itu tidak menyentuh sedikit pun keagungan Allah karena pada hakikatnya, merekalah tidak menganiaya Allah, akan tetapi merekalah yang sejak dahulu hingga kini yang berulang kali menganiaya diri mereka sendiri.

Kata "berulang kali" dipahami dari penggunaan kata kaana dan bentuk kata kerja mudhaari' yang menunjuk penganiayaan mereka, yaitu yazhlimuun.

Meskipun seluruh makhluk durhaka, kekuasaan & keagungan Allah tidak tersentuh atau berkurang. Sebaliknya, walau semua makhluk taat kepada-Nya pada puncak tertinggi ketaatan, itu pun tidak akan menambah keagungan-Nya karena Dia telah berada pada puncak yang tiada puncak lagi sesudahnya.

Banii Israa'iil menganiaya diri sendiri karena apa yang mereka peroleh akan punah, kalaupun bertahan tidak akan terbawa mati. Padahal, hanya amal yang akan dibawa mati, sedangkan amal mereka buruk, maka keburukan itu akan menjadikan mereka tersiksa. Dengan kata lain, mereka telah menganiaya diri sendiri.

Ayat 58-59:

Ayat ini masih masuk dalam konteks menyebut nikmat-nikmat Allah kepada Banii Israa'iil sekaligus mengandung kecaman. Setelah 40 tahun Banii Israa'iil hidup di Padang Tiih (baca Al Maa'idah: 26), mereka memeroleh nikmat & meraih kemenangan melawan musuh sehingga mereka dapat memasuki kembali kota idaman, Baitul Maqdis. Baitul Maqdis dinamai oleh orang-orang Yahudi Yerusalem Lama atau Hebron.

Mereka diperintahkan memasuki pintu gerbang Baitul Maqdis sambil bersujud yakni dengan penuh kerendahan hati & penyesalan atas dosa-dosa yang lalu karena itulah sifat para pemenang yang menyadari anugerah Ilahi.

Kembali ke pembahasan sujud, saat itu mereka diperintahkan untuk berkata hiththah, yang berarti bebaskanlah kami dari dosa-dosa kami yang banyak lagi besar. Kalau semua itu mereka lakukan, maka Allah mengampuni kesalahan-kesalahan & dosa-dosa mereka yang disengaja maupun tidak. Dan bahkan kelak Allah akan menambah pemberian-Nya untuk para muhsiniin, yakni orang-orang yang benar-benar mantap kebaikannya, yakni yang memohon ampun diampuni, dan yang memohon ampun disertai dengan berbuat baik.

Akan tetapi, mereka mengganti perintah tersebut.

Mereka mengganti perintah sujud, tunduk, dan rendah hati, dengan mengangkat kepala, membangkang, dan angkuh. Mereka ganti ucapan hiththah, yang bermakna permohonan ampun dengan hinthah, yakni permohonan gandum. Demikian sabda Nabi Muhammad saw. ketika menafsirkan ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Tidak jelas apakah mereka semua membangkang sehingga mereka dinamai orang-orang yang zalim, atau hanya sebagian mereka, dan yang sebagian itulah yang dicap sebagai orang-orang zalim. Namun yang pasti adalah, Allah melalui malaikat atau makhluk-Nya yang lain, timpakan atas orang-orang zalim itu siksa yang amat pedih dari langit, yakni dari arah di mana mereka tidak dapat mengelak, karena mereka berbuat fasik, yakni keluar dari ketaatan kepada Allah menuju maksiat.

Siksa dari langit tersebut tidak dijelaskan jenisnya oleh ayat ini. Betapapun, itu adalah suatu istilah yang digunakan al Qur'an untuk makna siksa yang tidak dapat dijelaskan, baik sumbernya dari darat, laut, maupun udara.

Firman-Nya kuluu minhaa haitsu syi'tum raghadan/makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana saja kamu sukai mengisyaratkan betapa subur tanah negeri itu dan betapa banyak yang terpencar hasil-hasilnya sehingga mereka dipersilakan menikmati hasilnya yang banyak itu dimana saja.

Kata al muhsiniin adalah jamak dari kata muhsin, dan ihsaan adalah kata jadiannya. Menurut al Harraali, sebagaimana dikutip al Biqaa'i, kata ini mengandung arti puncak kebaikan alam perbuatan. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah, dia itulah yan dinamai muhsin, dan ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.

Ayat 60:

Melalui ayat ini, Allah mengingatkan lagi tentang nikmat air yang diperoleh masing-masing kelompok dari mukjizat tongkat Nabi Muusaa as.

Firman-Nya wa idz istasqaa Muusaa liqaumihii/dan (ingatlah) ketika Muusaa memohon air untuk kaumnya mengandung isyarat bahwa hanya Nabi Muusaa as. yang memohon; Beliau tidak memohon bersama kaumnya. Redaksi ini dapat juga dikatakan mengandung isyarat bahwa ketika itu Nabi Muusaa as tidak merasa haus karena, menurut ayat di atas, Beliau hanya memohon air untuk kaumnya. Seseorang yang mencapai puncak ketaatan kepada Allah, akan memeroleh rezeki bukan sebagaimana kebiasaan yang dialami oleh kabanyakan orang. Nabi saw. ketika mengomentari sikap beliau menyambung puasa dari hari ke hari bersabda sambil melarang sahabatnya melakukan hal serupa bahwa: "Aku tidak seperti keadaan kalian, aku memasuki waktu malam dan di sisi Tuhan Pemeliharaku dengan diberi-Nya makan dan minum."

Ada hal yang menonjol pada Nabi Muusaa as dan kaumnya, yaitu individualisme. Penampilan perorangan sangat menonjol. Misalnya, ucapan Nabi Muusaa ketika Beliau dan kaumnya dikejar oleh Fir'aun  dan tentaranya di Laut Merah. Di sana, Nabi Muusaa as. menonjolkan keakuannya. Ketika kaumnya berkata: "Sesungguhnya kita pasti terkejar oleh Fir'aun & tentaranya" Beliau menjawab sebagaimana diungkap oleh al Qur'an: "Sekali-kali tidak; sesungguhnya Tuhanku beserta aku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku" (QS asy-Syu'araa': 62). Bandingkan dengan sikap Nabi Muhammad saw. saat mengalami peristiwa serupa ketika dikejar oleh orang-orang musyrik saat bersama Sayyidinaa Abuu Bakr ra. berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Beliau menjawab keluhan sahabatnya itu dengan berkata seperti diabadikan al Qur'an: "Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS at-Taubah: 40).

Allah swt. mengabulkan permohonan Nabi Muusaa dengan cepat, tanpa penantian yang lama sebagaimana dipahami oleh penggunaan huruf fa yang berarti maka, bukan tsumma/kemudian dalam firman-Nya: faqulnaa idhribuuhu bi ba'dhihaa/maka Kami berfirman: "Pukullah dengan tongkatmu batu." Didahulukannya kata tongkat pada penggalan ayat ini adalah untuk mengisyaratkan bahwa tongkat tersebut memiliki keistimewaan sebagai mukjizat Nabi Muusaa as, Beliau memukul batu apa pun.

Ada juga yang berpendapat bahwa yang diperintahkan adalah memukul batu tertentu, dan karena itu ada yang menerjemahkan kata batu dengan menambahkan kata itu. Banyak riwayat yang aneh dan tidak dapat dipertanggungjawabkan tentang batu tertentu itu. Quraish sulit menerimanya. Tidak dapat disangkal bahwa mukjizat & anugerah Ilahi semakin nyata bila yang dipukul adalah batu apa saja, bukan batu tertentu yang konon selalu dibawa oleh Nabi Muusaa as.

Menurut sementara ulama, ada dua mukjizat disini yaitu pukulan tongkat yang mengundang kehadiran air, serta air yang muncul dari sesuatu yang selama ini tidak pernah menjadi sumber air, yaitu batu. Ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut bukan mukjizat. Mereka berusaha merasionalkan pemahaman ayat bahwa air tersebut bukan dari batu, tetapi dari mata air yang tadinya tertutp oleh batu, sehingga ketika tanah digali dan batu dipecahkan dengan tongkat, air pun memancar. Hanya saja, jika demikian, maka akan 'mengurangi' fungsi tongkat Nabi Muusaa as. yang secara tegas dinyatakan Allah sebagai mukjizat Ilahi (QS Thaahaa: 17-20)

Intinya, doa Nabi Muusaa itu diperkenankan Allah dan disertai perintah berusaha, meskipun hanya simbolik, yaitu memukulkan tongkat pada batu. Maka, jika Anda berdoa, jangan berpangku tangan menunggu pengabulannya, tetapi lakukan sesuatu yang berada dalam kemampuan Anda.

Ayat di atas menggambarkan peristiwa memancarnya air dengan kalimat fanfajarat, sementara di QS Al A'raaf: 160 yang digunakan adalah fanbajasat, yakni keluar sedikit atau tidak deras. Kedua ayat tersebut tidak bertentangan karena yang Al A'raaf: 160 berbicara tentang awal memancarnya mata air dan yang Al Baqarah 60 setelah beberapa lama dari pemancaran pertama itu. Ketika itu ada 12 suku atau kelompok Banii Israa'iil yang hidup sendiri-sendiri. Mereka adalah anak cucu Nabi Ya'quub.

Adanya mata air untuk setiap suku merupakan nikmat tersendiri karena dengan demikian, mereka tidak perlu bertengkar sehingga persatuan & kesatuan yang lebih terpelihara. Ada kemungkinan bahwa air tersebut segar jernih, dan bersih karena lanjutan ayat di atas menyatakan, "Makanlah al-mann dan as-salwaa dan minumlah rezeki Allah, yakni air yang memancar itu dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan."

Maksud pesan terakhir ini antara lain adalah jaga kelestarian alam, pelihara kebersihan lingkungan, jangan gunakan air berlebihan dan bukan pada tempatnya.

Ayat 61:

Ayat ini masih merupakan lanjutan dari peringatan-peringatan Allah terhadap nikmat dan kedurhakaan Banii Israa'iil. Tetapi kali ini lebih menekankan pada kecaman atas mereka akibat meremehkan nikmat-nikmat Allah swt. sehingga nikmat berubah menjadi niqmat (bencana & siksa). Kali ini mereka diingatkan ketika orang tua mereka (Banii Israa'iil) berkata: "Hai Muusaa, kami tidak sabar lebih lama lagi dengan satu macam makanan saja. [Menurut Perjanjian Lama, hal ini mereka ucapkan pada bulan kedua dari tahun kedua eksodus mereka dalam perjalanan menuju Hebron. Mereka berkata: "Kami teringat makanan yang kami makan di Mesir dan kami telah bosan dengan al-mann dan as-salwaa] Sebab itu mereka menyuruh Nabi Muusaa untuk memohonkan kepada Tuhannya agar Dia mengeluarkan bagi mereka dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.

Muusaa dengan sangat heran berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?" Yakni, apakah benar-benar kalian lebih mengutamakan semua jenis makanan itu daripada al-mann dan as-salwaa yang lebih baik. Kalau itu yang kamu kehendaki, tinggalkan saja tempat ini dan pergilah kamu ke kota apapun atau kembalilah ke Mesir pasti kamu memeroleh apa yang kamu kehendaki.

Kemudian mereka mendapat kenistaan dan kehinaan serta kemurkaan dari Allah. Hal itu bukan saja karena menolak nikmat Allah dan tidak mensyukurinya, tetapi lebih-lebih karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Kedurhakaan itu mencapai puncaknya karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.

Perhatikan, pada ayat ini, mereka juga menyebut Nabi mereka dengan nama saja serta mencerca makanan. Ucapan itu lebih buruk lagi karena redaksi yang dipilih serta kandungan ucapan itu. Kata lan diterjemahkan di atas dengan tidak akan bermakna, "Sejak saat ini sampai masa datang yang berkelanjutan, kami tidak sabar dan tidak akan sabar atau mampu menahan diri dari memakan satu macam makanan saja. Kami telah bosan dengan makanan itu."

Banii Israa'iil sungguh aneh. Mereka bersikap tidak wajar kepada Nabi mereka, meremehkan ajaran-ajaran Ilahi yang Beliau sampaikan, tetapi mereka percaya bahwa doa Beliau pasti dikabulkan oleh Allah. Ini karena telah beberapa kali mereka membuktikan kebenarannya. Karena itu, mereka menyampaikan harapan kepada Muusaa as. "Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, -- Anda lihat mereka tidak berkata Tuhan kita--. Mohonlah agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya."

Ada 2 pendapat dalam memahami potongan ayat "Pergilah kamu ke kota, pastilah kamu memeroleh apa yang kamu minta"

1) Karena Banii Israa'il menolak makanan berupa burung dan manisan bagaikan madu yang lezat dan penuh gizi dengan permintaan yang telah disebutkan di atas, maka Nabi Muusaa as meminta mereka ke kota karena sayur mayur seperti itu mudah didapat di kota, bukan di padang pasir yang gersang.

2) Pergilah ke kota dimana kalian (Banii Israa'iil) tadinya disiksa oleh Fir'aun. Disana kalian akan mendapatkan apa yang kalian harapkan itu karena kalian merupakan kaum yang tidak menghargai nikmat kebebasan, tidak senang kepada nilai-nilai luhur. Kalian selalu ingin mengganti sesuatu yang baik dengan yang buruk, sesuatu yang bernilai tinggi dengan yang bernilai rendah.

Menurut Quraish, pendapat pertama lebih tepat. Dengan demikian, Nabi Muusaa as. tidak berdoa, dan memang tidak ada isyarat dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa Beliau berdoa. Tidaklah wajar memohon kepada Allah agar permintaan orang-orang durhaka dikabulkan. Tidak wajar juga memohon ganti apa yang telah dipilihkan Allah sendiri, apalagi dengan sesuatu yang nilainya rendah.

Nista adalah rasa rendah diri karena penindasan dan akibat dari kejauhan jiwa dari kebenaran, dan ketamakan meraih kegemerlapan duniawi. Nista berkaitan dengan jiwa, sedang kehinaan adalah kerendahan yang berkaitan dengan bentuk dan penampilan. Orang-orang kaya ketika itu berkewajiban membayar upeti. Sebagian besar --karena keengganan membayar-- menampilkan diri sebagai orang-orang miskin dengan memakai pakaian-pakaian kotor dan lusuh. Ada juga yang memahami kata adz-dzillah yang diterjemahkan di ayat ini dengan nista dalam arti kehinaan sedang al maskanah dalam arti kehinaan akibat keinginan meraih sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak dapat diraih sehingga melahirkan kesedihan.

Dalam QS Aali 'Imraan: 112 dijelaskan bahwa mereka baru akan terbebebaskan dari kenistaan dan kehinaan itu bila ada hablun min Allah yaitu tali yang terulur dari Allah, yakni pembelaan dan perlindungan dari-Nya melalui para Nabi atau hablun min an-naas yaitu tali yang terulur dari manusia, yakni melalui perlindungan yang bersumber dari kekuatan manusia yang pada hakikatnya sangat sementara.

Mengingkarai ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi adalah akibat telah mendarah dagingnya sifat pelampauan batas dan kedurhakaan dalam diri mereka.

Apa yang dikemukakan ayat ini, dialami oleh orang-orang Yahudi sejak dahulu dan berlanjut sampai setelah turunnya al Qur'an berabad-abad lamanya. Namun, harus diingat bahwa al Qur'an tidak mengeneralisasi. Dalam QS al Israa': 8, Allah menceritakan keselamatan mereka dan menegaskan: "Mudah-mudahan Tuhan kamu akan melimpahkan rahmat-(Nya) kepada kamu; dan sekiranya kamu kembali kepada kedurhakaan, niscaya Kami kembali mengazabmu"

Wallahu a'lam bishshawab

***

Kalau kamu mau lihat tulisan sebelumnya, klik disini.








2 comments:

  1. Mutya, saran ini untuk penempatan preview teksnya. Dipotong 10% saja, nanti continue reading bisa diklik kalau mau baca lebih panjang.

    Biar scrollnya tidak capek buat pembaca. Dimensi pembaca, sukanya terbatas di layar monitor. Biar cantik di benak konsumen, dan bisa membaca semua tulisan Mutya yang terhubung satu sama lain.

    Baru mau baca sudah komen, hehehe :)

    ReplyDelete
  2. Kak Galih, itu udah saya buat preview teksnya. Ntar mau saya ubah juga tulisan yang lain, biar orang-orang gak kaget duluan sama banyaknya teks. Terima kasih buat sarannya :D

    ReplyDelete