Friday, April 1, 2011

Materi, Materialisme & Materialistik



Materialisme dan materialistik adalah dua hal yang berbeda. Menurut KBBI, materialisme adalah pandangan hidup yg mencari dasar segala sesuatu yg termasuk kehidupan manusia di dl alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yg mengatasi alam indra. Kamus Oxford online menyatakan, materialisme adalah "a tendency to consider material possessions and physical comfort as more important than spiritual values" atau "the theory or belief that nothing exists except matter and its movements and modifications". Sedangkan materialistik adalah "excessively concerned with material possessions; money-oriented"

Sepanjang perjalanan hidup, saya melihat begitu banyak orang yang menilai manusia lain berdasarkan dari materi yang mereka tampilkan/miliki. Sayangnya, definisi sebagian besar dari mereka terhadap materi lebih cenderung kepada harta, baik berupa uang, properti pribadi, bahkan pakaian. Sehingga, mereka menilai keberadaan seorang manusia berdasarkan dari "materi" tersebut. Tak ayal, mereka yang dianggap menguasai "materi", dialah yang memiliki teman paling banyak.
Sudah sering saya mendengar kalimat yang mirip, "Eh, Si fulan kaya ya!", "Aku mau berteman dengan fulan karena dia kaya.", "Ah, kalau kita mah standardnya harus yang bawa mobil, Mut. Gak mau kalau (dapat pasangan) yang bawa sepeda motor.", "Gile, rumahnya si fulan gede banget!", dsb dsb dsb.


Saya tahu bahwa setiap orang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda dan dengan pendidikan nilai yang berbeda pula. Tapi, tahukah Anda bahwa menilai keberadaan manusia lain dengan hanya berdasarkan "materi" itu sangat menyakitkan? Tak peduli jika posisi Anda sebagai orang yang "beruntung" sekali pun, tetap hal itu menyakitkan. Lalu, jika orang yang "beruntung" tadi tiba-tiba jatuh malang, karena hartanya ludes, bisakah Anda tetap berteman dengannya atau setidaknya tetap menganggap keberadaannya?


Tak tahukah Anda bahwa sebagian orang berusaha menyembunyikan "keberadaannya" dari segerombolan orang materialistik untuk menghindari keadaan yang saya sebutkan di atas? Ya, mereka benar-benar ada, tapi mereka ingin dianggap ada bukan berdasarkan materi dalam artian harta, mereka ingin dianggap ada dalam artian karya.


Menariknya, ada juga yang memberi respon berbeda tentang materialistik. Dua tahun lalu, seorang sahabat terlalu menganggap dirinya rendah secara "materi" sehingga enggan bergaul dengan saya, padahal yang saya lihat darinya adalah karya. Oh, come on! Dunia tidak sesempit itu, teman! Tidak semua orang mendefinisikan "materi" dengan harta! 


Kamu mau memaksa saya memandang "materi" dalam artian harta? Fine. Yang saya lihat bukan harta bawaan dari orang tua kamu. Yang saya lihat adalah bagaimana cara kamu bisa memutarkan harta dengan cara yang baik dan membelanjakannya dengan cara yang baik pula. That's it!

2 comments:

  1. Materialisme lahir dari budaya berpikir empiris, yang dikembangkan para pemikir Yunani, anak kandung dari empirisisme adalah : sains.

    Rasionalisme lahir dari budaya berpikir kalkulasi, yang dikembangkan para pemikir Arab- Persia, anak kandung dari rasionalisme adalah : matematika.

    Keduanya adalah "alat" untuk berusaha "membaca" semesta, maka pandanglah selalu sebagai "alat".

    Materi sangat mudah terpapar secara visual, untuk itulah maka disebut "materi". Memahami eksistensinya pun, sangatlah mudah, dengan indera yang manusia miliki.

    Namun, salah satu yang ditekankan oleh Al Quran adalah : penggunaan akal ( manusia berakal). Dengan akal ini, manusia bisa memberi nilai tambah terhadap "materi", sehingga bisa digunakan untuk membangun peradaban manusia.

    Emas, adalah materi. Batubara, adalah materi. Minyak bumi, juga materi. Namun, sebelum manusia mau menggunakan "akal"nya, ketiganya sama sekali tidak punya nilai apapun.

    Akal, adalah alat yang diberikan kepada manusia, agar manusia bisa memahami diri mereka (nya). Ketika manusia memahami diri mereka (nya), maka menemukan apa yang menciptakan mereka, juga perkara yang relatif lebih bisa dilakukan.

    Ketika manusia memandang "materi" adalah sebatas "materi", tanpa berusaha menggunakan "akal" untuk mencari tahu, asal muasal "materi" itu - bagaimana proses terbentuknya, bagaimana mengolahnya, hingga bagaimana memanfaatkan "materi" itu, untuk membangun peradabannya-, maka manusia itu dikatakan belum optimal dalam menggunakan alat di dalam dirinya, yang disebut "akal" atau "mind".

    Bagaimana manusia menggunakan "akal"nya itu yang Mutya sampaikan di paragraf terakhir ini : "Yang saya lihat adalah bagaimana cara kamu bisa memutarkan harta dengan cara yang baik dan membelanjakannya dengan cara yang baik pula".

    Very nice, indeed :)

    ReplyDelete
  2. Tulisan di atas itu merupakan salah satu bentuk protes saya terhadap beberapa orang yang berpandangan bahwa keberadaan manusia dianggap dari "materi" yang "dimilikinya". Dan saya sangat banyak menemui orang-orang seperti itu, sejak usia TK.

    Buat saya, lebih terhormat untuk "membuat-alat" daripada hanya sekedar "menggunakan-alat" yang telah ada.

    ReplyDelete