Wednesday, July 13, 2011

Lessons Learned From Al Baqarah 83-93 (Taken From Al Mishbah)



Kelompok ayat 83-103, mengingatkan semua pihak tentang perjanjian yang dijalin Allah dengan Banii Israa'iil. Karena terlalu panjang, saya akan bagi menjadi dua bagian, yaitu dari ayat 83-93 dan 94-103.

Ayat 83:

Ayat ini merupakan uraian tentang kedurhakaan Banii Israa'iil yang menjadi bukti bahwa mereka benar-benar telah diliputi oleh dosa mereka masing-masing. (Lihat Al Baqarah ayat 81-82)

Ayat 83 ini memerintahkan manusia untuk mengingat dan merenungkan keadaan Banii Israa'iil secara umum dan khusus ketika Allah melalui utusan-Nya mengambil janji dari Banii Israa'iil bahwa mereka tidak menyembah sesuatu apa pun dan dalam bentuk apa pun selain Allah Yang Maha Esa; berbuat baik kepada ibu bapak dengan kebaikan yang sempurna, walaupun mereka kafir, demikian juga kaum kerabat, serta anak-anak yatim yang belum baligh sedang ayahnya telah wafat, dan juga orang-orang miskin yang membutuhkan uluran tangan.

Karena tidak semua orang dapat memberi bantuan kepada yang disebut di atas, perintah tersebut disusul dengan perintah, "Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia seluruhnya, tanpa kecuali."

Setelah memerintahkan hal-hal yang dapat memperkukuh solidaritas mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat dan menunaikan zakat secara sempurna dan berkesinambungan. *Ah, disinilah pentingnya keberlanjutan dari suatu kebaikan* 

Ayat ini menunjukkan prioritas bakti dan pengabdian yang dimulai dari perintah beribadah hanya kepada Allah, yang kemudian disusul dengan perintah berbakti kepada orangtua. Mengabdi pada Allah harus ditempatkan pada tempat pertama karena Dia adalah sumber wujud manusia dan sumber sarana kehidupan manusia. Setelah itu, baru kepada kedua orangtua yang menjadi perantara bagi kehidupan seseorang serta memeliharanya hingga dapat berdiri sendiri. Ayat itu dilanjutkan dengan sanak kerabat karena mereka berhubungan erat dengan kedua orangtua.

Makna ihsaan telah dikemukakan Al Harraali pada Al Baqarah: 58. ar-Raaghib al Ashfahaani berpendapat bahwa kata ihsaan digunakan untuk dua hal, yaitu:

1.) Memberi nikmat kepada pihak lain
2.) Perbuatan baik

Makna ihsaan lebih tinggi dari makna adil. Adil adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedangkan ihsaan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil. Perhatikan perintah untuk berbuat ihsaan pada kedua orang tua, kerabat, serta anak yatim pada ayat ini.

Kata husnan mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi. Ucapa yang disifati seperti itu adalah ucapan yang kandungannya benar, sesuai dengan pesan yang akan disampaikan lagi indah, bukan saja redaksinya tetapi juga kandungannya. Kata ini dapat mencakup perintah berbuat baik dan larangan berbuat munkar. Mengucapkan kata yang baik dapat menjalin hubungan yang harmonis.

Semua prinsip akidah (rukun iman), prinsip syariat (rukun Islam), serta prinsip akhlak diajarkan oleh nabi-nabi yang diutus Allah sejak Aadam as. hingga Muhammad saw.

Banii Israa'iil mulanya menerima baik perjanjian itu dan bersedia mengamalkannya. Tetapi mereka tidak memenuhi janji itu kecuali sebagian kecil diantaranya. Sebagian ulama memahami kata "kamu" yang pertama dan kedua dalam penggalan ayat di atas ditujukan kepada leluhur Bani Israa'iil yang menerima perjanjian. Sedangkan kata "kamu" yang ketiga ditujukan kepada mereka yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw.


Ayat 84:

Ayat ini mengingatkan isi perjanjian menyangkut hal-hal yang harus Bani Israa'iil tinggalkan, yaitu tidak membunuh orang lain tanpa hak dan tidak mengusir saudara sesama manusia. Pada waktu itu mereka berikrar di depan umum sedangkan kamu, yang mendengar ayat al Qur'am ini dan yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw menyaksikan bahwa perjanjian itu memang pernah dilakukan oleh orangtua Bani Israa'iil.

Ada juga yang menerjemahkan kata terakhir ayat ini dengan mempersaksikannya, dalam arti, kamu sendiri yang mengikat perjanjian itu dengan Allah lalu mempersaksikan bahwa ketika itu kamu mengakuinya tanpa paksaan. Atau ia bermakna kamu, wahai leluhur Bani Israa'iil, menyaksikan bukti-bukti yang amat jelas sehingga kamu dengan penuh kesadaran ketika itu mengakui isi perjanjian itu. Bukti-bukti yang dimaksud adalah keadaan bukit Thur yang telah diuraikan pada Al Baqarah: 63.

Ayat 84 ini sekaligus mengingatkan perlunya persatuan dan kesatuan antar manusia. Ini dipahami dari penggunaan kata 'darah kamu', 'diri kamu sendiri', dan 'kampung halaman kamu', padahal yang dimaksud adalah orang lain. Hal ini dikarenakan, dalam pandangan Allah, seluruh manusia yang hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah saudara seketurunan.

*Heu, ayat 83 & 84 ini membuat berpikir bahwa mengucapkan janji itu tidak boleh sembarangan.... Ngucapinnya sih gampang, tapi melaksanakannya itu lho.... Beraaaat*

Ayat 85:

Ayat ini memberi informasi bahwa perjanjian yang disebut pada ayat 83-84 tidak sepenuhnya mereka laksanakan.

Kata haa'ulaa'i/mereka pada kalimat tsumma antum haa'ulaa'i/kemudian kamu, hai Bani Israa'iil, adalah mereka dipahami al Biqaa'i mengandung makna penghinaan. Ulama tersebut mengomentarinya dengan berkata: "Kamu adalah mereka orang-orang yang hina lagi dikuasai dan tidak dikenal tidak juga diketahui dengan nama apa mereka dipanggil." Kata tersebut juga dapat dimaknai sebagai mereka yang hidup pada masa turunnya al Qur'an. Jika makna ini diterima, penggalan ayat tersebut berbicara tentang kelompok orang-orang Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw (Banii an-Nadhiir & Qainuuqaa yang memihak Khazraj; dan Banii Quraizah yang memihak 'Aus).

Terlepas dari siapa yang dimaksud dari ayat itu, mereka telah membunuh dan mengusir sekelompok manusia dari kampung halaman dengan saling membantu mencelakakan mereka yang tidak sekelompok atau seagama, serta berbuat dosa dan agresi. Apa yang mereka lakukan terbatas hanya menebus saudara-saudara sekelompok mareka yang ditawan musuh, tetapi pengusiran terhadap orang lain tetap mereka lakukan padahal ini juga terlarang bagi mereka.

Allah mengecam mereka dengan firman-Nya: Apakah kalian beriman kepada sebagian al Kitaab dan ingkar terhadap sebagiannya, yakni melaksanakan perintah menebus tawanan dan mengabaikan perintah lainnya seperti berperang, mengusir, dan bantu membantu dalam kejahatan?

Kedurhakaan mereka dinamai kekufuran karena kata kufur tidak selalu berarti keluar dari keimanan. Tidak melaksanakan perintah Allah; tidak mensyukuri nikmat Allah atau kikir dan enggan membantu terkadang dinamai kekufuran oleh al Qur'an. Mungkin juga kekufuran orang-orang Yahudi yang dimaksud ayat ini adalah kekufuran dalam arti tidak memercayai tuntunan-tuntunan Ilahi itu dari lubuk hati mereka.

Kekufuran dapat terjadi pada seseorang yang memercayai Allah tetapi tidak memercayai kewajiban yang ditetapkan-Nya. Kalau hal itu terjadi dan berlanjut, siapa pun pelakuknya, termasuk umat Islam, kapan dan dimana pu  mereka berada, akan mendapat nista dalam kehidupan dunia.

Siksa yang diperoleh di dunia tidak mengurangi siksa di akhirat kelak, sebagaimana ayat tersebut melanjutkan dengan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.

Mengapa mereka masih harus mendapat siksa di akhirat? Sebenarnya kenistaan yang mereka peroleh di dunia bukan siksa, tetapi buah amal mereka. Ayat 85 pun tidak menamainya siksa, tetapi "balasan". Di sisi lain, sanksi yang diterima di dunia baru dapat menghapus sanksi akhirat bila sanksi duniawi itu berupa hadd atau ketetapan hukum yang ditetapkan langsung kadar dan syaratnya oleh Allah dan atau Rasul-Nya, seperti sanksi hukum terhadap pezina, peminum, atau pencuri dan perampok. Sedangkan, akibat perbuatan aniaya yang tidak ditetapkan kadar sanksinya adalah buah perbuatan. Karena itu, sanksi pelanggaran akan diterima di akhirat kelak. Allah tidak sedikit dan sesaat pun lengah terhadap yang kamu semua kerjakan.

Ayat 86:

Mereka tidak menepati janji seperti yang diuraikan pada ayat 84-85 karena mereka adalah orang-orang yang menukar kenikmatan yang dapat diraih dalam kehidupan di akhirat dengan kenikmatan sementara dalam kehidupan dunia.

Maka, jangan menduga bahwa siksa di dunia yang mereka alami akan meringankan siksa di akhirat. Dan jangan menduga bahwa akan ada yang menolong mereka.

Ayat 87:

Ayat ini masih merupakan uraian tentang pelanggaran-pelanggaran Banii Israa'iil. Allah telah menganugerahkan Taurat kepada Nabi Muusaa agar mereka selalu membacanya dan mengingat kandungan perjanjian itu. Bahkan, sesudah kepergian Nabi Muusaa as. Allah juga telah menyusulinya berturut-turut para rasul yang datang memperingatkan mereka dan memperbaharui tuntunan agar selalu sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti Nabi Yusya', Daauud, Sulaimaan, Syu'aib, Armiya' Ilyaas, Ilyasa' Yuunus, Zakariyyaa, Yahyaa as. Dan Allah telah memberikan bukti kepada 'Iisaa bukti-bukti kebenaran yang sangat jelas, seperti mengembalikan penglihatan orang buta, menyembuhkan aneka penyakit, menghidupkan yang mati, mengungkap berita-berita gaib, yang kesemuanya atas izin Allah kemudian Allah mengukuhkan Nabi 'Iisaa dengan Ruuhul Qudus (Malaikat Jibril) yang datang membawa wahyu-wahyu Ilahi (Injil).

Karena sikap Banii Israa'iil terhadap para nabi dan rasul sangat tidak wajar, mereka dikecam dalam bentuk pertanyaan. Apakah setiap datang kepada kamu seorang rasul yang diutus Allah membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu kamu, kamu menjadi sangat angkuh; maka sekelompok orang di antara mereka kamu dustakan, seperti 'Iisaa dan Muhammad saw dan sekelompok orang yang lain kamu bunuh, seperti Nabi Zakariyyaa dan Yahya as. atau bermaksud membunuhnya, seperti Nabi Muhammad saw.?

Firman-Nya: min ba'dihi/sesudahnya, yakni sesudaj kepergian/kematian Nabi Muusa as., mengisyaratkan bahwa sebenarnya kehadiran rasul sesudah beliau adalah suatu yang pasti dan benar, tidak seperti dugaan Banii Israa'iil yang menolak kenabian 'Iisaa as. dan Muhammad saw.

Kata 'Iisaa terambil dari bahasa Ibrani, yaitu yasuu' atau yasyuu' yang dilafalkan oleh lidah Arab dengan 'Iisaa karena kata aslinya berat mereka ucapkan. Maknanya adalah "Tuan" atau "yang diberkati". Beliau lahir di Bait Lahem pada masa kekuasaan Herodus di Qudus tahun 430 sebelum Hijrah Nabi Muhammad saw. Beliau diutus menjadi Nabi pada usia 30 tahun dan wafat (diangkat) ke sisi Allah swt. dalam usia 33 tahun.

Kata Maryam juga berasal dari bahasa Ibrani tetapi karena pengucapannya mudah maka tidak terjadi perubahan. Kata ini, meskipun merupakan nama, dipahami oleh sementara pakar bahasa Arab dengan arti wanita yang menjauhkan pandangannya dari wanita. Ini karena Maryam as. adalah wanita pertama yang berkhidmat di Bait al-Maqdis. Menurut riwayat beliau melahirkan 'Iisaa as. ketika berusia 13 tahun. Ayah Maryam meninggal sebelum kelahirannya, sehingga Nabi Zakariyyaa yang memelihara Maryam. Beliau berusia lanjut tetapi tahun wafatnya tidak diketahui.

Kata ruuh al-Qudus dapat dipahami dalam arti malaikat Jibriil, ataupun satu kekuatan yang dahsyat dan dapat melakukan -- atas izin Allah-- hal-hal yang luar biasa.

Dukungan malaikat Jibriil kepada Nabi 'Iisaa as. telah ada sejak sebelum Nabi 'Iisaa dikandung Maryam dan ketika beliau baru lahir, bahkan sepanjang hidup Nabi 'Iisaa sampai dengan kematian beliau. Sebenarnya, semua nabi mendapat dukungan Ruuh al-Qudus. Tetapi, karena dukungannya kepada Nabi 'Iisaa as. demikian menonjol, agaknya itulah yang menyebabkan penyebutan dukungan tersebut dalam ayat ini secara khusus.

Di sisi lain, penyebutan nama Nabi 'Iisaa disini, bukan saja karena beliau membawa kitab suci terakhir sebelum al Qur'an, tetapi agaknya juga karena beliau adalah nabi terakhir di kalangan Banii Israa'iil yang mereka tolak, bahkan mereka upayakan untuk membunuhnya. Dengan demikian, diketahui bahwa sikap dan kelakuan mereka tidak berubah sampai dengan kedatangan nabi terakhir dari kelompok mereka sendiri.

Orang-orang Yahudi, yang diceritakan sifat-sifatnya di atas, sangat lihai. Mereka mengemukakan banyak dalih dan kalimat bodoh. Sebagai contoh, ucapan mereka yang diabadikan Qur'an pada Al Baqarah 80 & 111.

Ayat 88:

Perhatikan bentuk ganti perorangan yang digunakan ayat ini (kata ganti orang ketiga) dan ayat sebelumnya (kata ganti orang kedua). Peralihan gaya ini disebabkan uraian ayat di atas telah beralih dari uraian tentang sikap mereka terhadap nabi-nabi yang lalu kepada sikap mereka kepada Nabi Muhammad saw.

Ayat 88 ini dapat merupakan gambaran ucapan-ucapan buruk mereka, sekaligus penjelasan tentang keangkuhan atau kebohongan mereka yang telah disebut pada ayat 87. Ayat ini menjelaskan bahwa, di samping ada nabi yang mereka dustakan, ada yang mereka bunuh, mereka juga berpaling dari dakwah Nabi Muhammad saw. dan berkata: "Hati kami tertutup", yakni tidak mengerti apa yang disampaikan. Ada juga yang mengartikannya dengan "hati kami wadah yang penuh pengetahuan, sehingga kami tidak membutuhkan bimbingan siapapun." Tidak, yakni sebenarnya mereka bukan tidak tahu atau tidak mengerti, bukan juga hati mereka penuh dengan pengetahuan.

Ayat ini tidak membantah ucapan mereka itu secara langsung, tetapi menyampaikan kepada setiap orang yang mau mengerti bahwa kebejatan telah mendarah daging dalam diri mereka sehingga Allah telah mengutuk mereka karena kekufuran mereka. Namun, al Qur'an tidak menilai bahwa mereka semua ingkar atau kafir. Perhatikan penggalan kalimat: Maka sedikit sekali mereka yang beriman. Kata "sedikit sekali" dalam ayat ini dipahami dari kata qaliilan yang berbentuk nakiirah (indefinite).


Sebenarnya, mereka mengetahui tentang akan datangnya seorang nabi, yakni Muhammad saw., yang membawa kitab suci.

Ayat 89:

Ayat ini membuktikan kebohongan ucapan mereka sebelum ini & keburukan lain dari Banii Israa'iil. Al Qur'an diturunkan Allah swt. untuk menjadi petunjuk bagi semua manusia, termasuk Banii Israa'iil; tetapi mereka menolaknya. Mereka tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. Dan, setelah datang kepada mereka kitab suci Al Qur'an dari sisi Allah yang kandungannya membenarkan apa yang ada pada mereka, menyangkut kedatangan seorang nabi serta sifat-sifatnya yang mereka ketahui, mereka tetap mengingkari nabi itu, padahal sebelum kedatangan nabi itu, mereka biasa bermohon --demi nabi itu-- kiranya mereka mendapat kemenangan atas orang-orang kafir yang menjadi musuh-musuh mereka.

Orang-orang Yahudi bermukim di Madinah bersama dua suku Arab besar, yaitu 'Aus dan Khazraj. Bila
terjadi permusuhan antara orang Yahudi & lawan-lawan mereka, orang Yahudi bermohon kepada Allah,
"Wahai Tuhan! Menangkanlah kami atas musuh-musuh kami, demi Nabi yang Engkau sebutkan sifatnya
dalam Taurat." Mereka juga sering berkata kepada musuh-musuh mereka bahwa jika Nabi yang mereka nantikan datang, mereka akan menyambut & memercayainya & mereka akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Tetapi setelah datang kepada mereka ketahui menyangkut kitab suci al Qur'an, Nabi Muhammad & sifat-sifat beliau, mereka mengingkarinya.

Permohonan memeroleh kemenangan demi Nabi yang dinantikan menunjukkan bahwa sebenarnya hati mereka tidak tertutup, bukan pula mereka tidak tahu, dan tidak juga hati mereka telah penuh dengan bimbingan. *Ada kaitannya dengan penjelasan ayat 88*. Penyebab pengingkaran mereka adalah iri hati atas anugerah Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. *Heu, jadi berpikir, ternyata ada ya orang-orang yang ketika doanya dikabulkan, malah menolak setelahnya*

Ayat ini tidak menyatakan laknat Allah atas mereka, tetapi "laknat Allah atas orang-orang kafir".
Pemilihan redaksi ini bertujuan:
1. Menyifati mereka sebagai orang-orang kafir
2. Menginformasikan bahwa laknat itu mencakup siapa pun yang berbuat seperti perbuatan orang-orang Yahudi yang kafir itu.

Ayat 90:

Ayat ini merupakan kecaman atas perbuatan mereka yang dilukiskan ayat 89. Allah berfirman: "Alangkah buruknya apa yang telah mereka tukarkan dengan kebahagiaan diri mereka sendiri yaitu membeli kepada setan kenikmatan duniawi dengan mengkufuri yakni terus menerus menutupi apa, yakni kebenaran wahyu, yang telah Allah turunkan melalui nabi & rasul-rasul-Nya. Mereka mengkufurinya bukan karena tidak mengetahui kebenarannya tetapi karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya yakni menganugerahkan kenabian kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, yang paling wajar dalam hal ini adalah Nabi Muhammad saw. Maka, karena itu mereka wajar mendapat murka Allah karena kedengkian itu sesudah mendapat murka Allah karena kedurhakaan mereka termasuk keingkaran mereka terhadap Nabi 'Iisaa as. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang menghinakan."

Kata isytarau/telah menukar atau menjual, digunakan dalam bentuk kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa penolakan tersebut telah terjadi sebelum turunnya ayat ini. Yakni, penolakan terjadi begitu tersebar berita kedatangan seorang nabi yang bukan dari kelompok Banii 'Israa'iil. Di sisi lain, kata an yakfuruu/mengkufuri, ditampilkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhaari') untuk mengisyaratkan bahwa kekufuran mereka kini terjadi dan akan terus berlangsung.

Selama ini, nabi-nabi yang berada di Timur Tengah berasal dari Banii Israa'iil. Mereka sangat yakin bahwa Nabi yang disebut dalam kitab Taurat pastilah Nabi dari Banii 'Israa'iil pula. Tetapi, ketika Nabi Muhammad saw. datang, ternyata beliau bukan dari kelompok mereka. Maka, muncullah ke permukaan rasa iri, kedengkian, dan keberatan atas pilihan Allah.

Berdasarkan sejarahnya, Banii Israa'iil tidak pernah menyambut dengan baik para nabi, meskipun berasal dari kelompok mereka sendiri. Sehingga, wajar jika Allah memilih nabi dari kelompok selain mereka.

Menurut Quraish, walaupun ayat ini tidak menyebut secara tegas nama Nabi Muhammad saw., dari redaksinya iri hati tersebut mengarah pada Rasul yang telah dipilih Allah itu. Agaknya, tidak disebutnya secara tegas nama Nabi Muhammad saw dimaksudkan untuk mengisyaratkan bahwa iri hati, dengki, dan keberatan atas putusan Allah adalah sifat terkutuk, terhadap siapa pun iri hati, dan apapun alasannya.

Kalimat wa lilkaafiriina 'adzaabun muhiin/dan bagi orang-orang kafir siksaan yang menghinakan mengandung arti bahwa siksa itu tidak hanya pedih & keras tetapi juga menghinakan sehingga siksaan tersebut menimpa fisik & psikis.

Ayat 91:

Banii Israa'iil tidak hanya mengingkari al Qur'an yang turun kepada Nabi Muhammad, mereka juga menolak kandungan kitab suci yang dibawa nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Hal itu menyebabkan mereka mendapat "murka di atas murka."

Padahal, Qur'an membenarkan apa yang ada pada mereka, yang pernah disampaikan oleh Nabi Muusaa as. dan para nabi yang lalu.

Kalimat aaminuu bimaa anzala Allaah/berimanlah kepada apa yang diturunkan Allah, mengisyaratkan bahwa apapun dan siapapun yang membawa ajaran dan bimbingan Allah swt., apakah dia Nabi Muhammad saw. atau orang lain, apakah dia wahyu langsung berupa kitab suci atau bukan wahyu langsung berupa tuntunan Nabi, itu semua hendaknya dipercaya. Hal itu juga untuk menghindari penyebutan nama Nabi Muhammad yang Banii Israa'iil benci itu.

Mereka menjawab ajakan tersebut dengan berkata: "Kami percaya kepada apa yang telah diturunkan kepada kami, yakni kitab Taurat yang disampaikan oleh Nabi Muusaa as. Adapun yang sedang atau akan diturunkan oleh Allah kami tidak mau percaya."

Sebelum menyanggah ucapan mereka, perhatikan ketelitian & objektivitas Qur'an. Penggalan kalimat wa yakfuruuna bimaa waraa'ah/dan mereka kafir kepada selainnya, yakni mereka kafir kepada al-Qur'an dan seterusnya *maksudnya kalimat seterusnya, bukan penerus Qur'an*, kalimat ini tidak dimasukkan Qur'an dalam ucapan mereka. Ini hanya komentar Allah karena mereka tidak mengucapkan seperti itu. Sanggahan ucapan mereka baru dikemukakan sesudah itu, yakni kalau kalian percaya kepada apa yang diturunkan untuk kalian, mengapa kalian selama ini membunuh atau bermaksud membunuh nabi-nabi, kalau memang kalian orang-orang yang beriman.

Kata min qabl/sebelum ini, maksudnya adalah sebelum Nabi Muhammad saw. Bila kata sebelum ini tidak tercantum, bisa jadi akan timbul dalam benak orang-orang Yahudi bahwa mereka akan mampu membunuh Muhammad saw. atau, paling tidak, bisa meresahkan umat Islam karena menduga bahwa Nabi Muhammad saw. pun akan menjadi korban pembunuhan orang Yahudi.


Maka, penegasan Qur'an tersebut memberi ketenangan pada Nabi Muhammad saw. & para sahabat, serta menjadi bukti kebenaran Qur'an untuk generasi setelah mereka.

Kalimat falima taqtuluun/maka mengapa kamu membunuh, redaksinya adalah mudhaari' (kata kerja masa kini). Padahal peristiwa pembunuhan tersebut telah terjadi di masa lalu.  Kenapa demikian? Agar seolah-olah dalam benak pendengar Qur'an, hal itu sedang terjadi. Penggunaan redaksi semacam itu *peristiwa masa lalu tapi menggunakan kata kerja masa kini, maksudnya* memang sering disajikan dalam Qur'an dengan tujuan menampilkan keburukan atau keindahan dari suatu peristiwa.

Ayat 92:

Jikalau Banii Israa'iil beriman pada apa yang diturunkan kepada mereka, sewajarnya mereka mengakui keesaan Allah & tidak akan membunuh para nabi. Padahal Nabi Muusaa as. telah membawa bukti-bukti kebenaran yang telah jelas, namun mereka malah mbalelo. Hal itu dikarenakan kezaliman telah membudaya dalam diri mereka. *Hmmm, jadi berpikir, sebenarnya budaya suatu masyarakat itu ditentukan oleh faktor apa saja? Kalau budayanya 'rusak', itu salah masyarakatnya atau individunya? Eh tapi, nilai salah dan benar itu bisa jadi relatif, karena setiap masyarakat punya latar belakang dan pengetahuan yang berbeda.... Hmmmm....*

Ayat 93:

Coba deh perhatikan, ayat ini mirip sama ayat 63. Bedanya, jika ayat 63 bertujuan menunjukkan ketidaksetiaan orang Yahudi dalam perjanjian mereka dengan Allah, nah ayat 93 ini bersifat membantah Banii Israa'iil. Bantahannya: kalau mereka enggan mengakui Nabi Muhammad karena ia bukan dari golongan Banii Israa'iil, kenapa mereka juga bersikap enggan terhadap para nabi dari golongan mereka sendiri? dan kenapa pula mereka tidak memenuhi perjanjian dengan Allah?

Untuk mengetahui makna pengangkatan bukit, silakan Anda lihat tafsir ayat 63.

Pengangkatan bukit itu konteksnya adalah ancaman, bukan untuk memaksa mereka beriman, tetapi menunjukkan kasih sayang & perhatian. Sama dengan perlakuan ayah & ibu kepada anaknya yang sakit agar meminum obat dengan segera sambil mengancamnya dengan ancaman-ancaman tertentu. Begitu tulis Quraish Shihab. *Hmmm, jadi berpikir, apakah pola pengasuhan yang baik itu tidak selalu menuruti keinginan anak? Ini mirip sistem reward & punishment yah?*

Kalimat sami'naa wa 'ashainaa/kami mendengarkan dan kami tidak menaati, yaitu membangkang. Sebagian ulama berpendapat bahwa lidah mereka berkata kami mendengarkan, tapi perbuatan mereka berkata kami membangkang.

Gambaran hidup tentang kenyataan sami'naa wa 'ashainaa mengisyaratkan salah satu prinsip umum dari sekian prinsip ajaran Islam adalah tidak ada nilai satu ucapan tanpa amal. Amallah yang dinilai atau kesatuan ucapan lidah serta gerak nyata, dan inilah yang menjadi dasar bagi ketetapan hukum & penilaiannya. [Sayyid Quthub]

*Jleb! Hah, nampar banget >__<. Berarti percuma aja berkoar-koar sepanjang hari kalau nggak ada aksi nyata, mirip tong kosong nyaring bunyinya*

Ucapan & kenyataan yang Bani Israa'iil tampilkan itu disebabkan kecintaan menyembah anak sapi & hal-hal yang bersifat material telah meresap ke dalam hati mereka akibat kekufuran mereka. *Jadi ingat percakapan dengan mentor bahwa esensi dari dzikir itu adalah mengingat Allah, bukan banyaknya hitungan ataupun material alat penghitungnya (tasbih, contohnya). Kata mentor, banyak orang yang pemikirannya terjebak dengan berapa banyak hitungan dzikir yang harus ia baca saat itu ataupun harus memegang tasbih saat berdzikir, tetapi mereka lupa bahwa yang penting adalah mengingat Allah dan berserah diri kepada-Nya. Dan virus salah kaprah ini, menurut Beliau, bersifat sangat 'halus'*

Taurat yang diturunkan Allah sama sekali tidak mengandung tuntunan seperti yang dipraktikkan oleh orang Yahudi.

PS: Kalimat yang ditulis miring dan diapit oleh tanda * merupakan kalimat saya sendiri. Kalau mau membaca tulisan tafsir Al Baqarah sebelumnya, klik disini.

No comments:

Post a Comment