Sunday, August 7, 2011

Filosofi dari Beberapa Makanan dalam Ritual Bancakan



Jika kamu seorang Jawa atau Sunda, kemungkinan besar kamu akan mengenal kata Bancakan. Bancakan merupakan suatu ritual yang diadakan sebagai simbolisasi rasa syukur kepada Sang Hyang Widi alias the Supreme Power dengan cara membagi-bagikan makanan kepada relasi. 

Dalam bancakan yang lazim diterima oleh kalangan di sekitar saya, terdapat lima unsur yang 'sunnah muakkad' untuk dipenuhi, yaitu apem, pasung (apem yang dililit daun pisang atau daun nangka yang dibentuk kerucut), gedhang atau pisang, ketan, dan kolak. 

Menurut penuturan guru ngaji saya, pada jaman dahulu, para wali berusaha mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat dengan cara yang telah mereka mengerti, salah satunya adalah memodifikasi konsep dan bentuk sajen. Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang 'wajib' mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu. Saat itu, mereka menganggap bahwa para arwah nenek moyang ataupun lelembut merupakan the supreme power. 
Untuk mengatasi hal tersebut, seorang wali (kurang jelas siapa walinya) mengubahnya dengan kelima unsur yang telah saya sebutkan di atas dan meluruskan bahwa the supreme power adalah Tuhan Yang Maha Esa. Menariknya, baik apem; pasung; gedhang; ketan dan kolak; menurut guru ngaji saya, berasal dari bahasa Arab.

Gedhang berasal dari kata ghadan yang berarti bersegeralah. Apem berasal dari kata 'afuwwun atau memohon ampun. Ketan berasal dari kata khatha'an atau kesalahan. Pasung berasal dari kata fa shaum yang berarti maka berpuasalah. Sedangkan kolak berasal dari kata khala atau kosong. Maka, jika digabungkan akan bermakna Bersegeralah memohon ampunan dari segala kesalahan dan berpuasalah agar semuanya kembali dalam keadaan kosong (dari dosa). 

Dari cerita guru ngaji saya ini, saya menarik kesimpulan bahwa berhati-hatilah dalam menafsirkan makna dari simbol. Bisa jadi, maknanya jauh dari bentuk fisiknya. Hal ini penting mengingat terkadang manusia (termasuk saya), malas untuk mencari tahu filosofi dari simbol-simbol itu. 

4 comments:

  1. Penghakiman atas simbol, dimulai dari tafsiran subjektif terhadap objek, tanpa ada toleransi waktu untuk menggali lebih dalam. Subjek ( pelaku) akan menafsir menggunakan alat (tools) yang sudah menjadi bawaan sebelumnya, dimana alat ( tools) tadi belum tentu cocok dengan objek yang diobservasi. Seperti manusia yang membangun nasehat, berdasar dari pengalaman empiris sebelumnya.

    Konsep keTuhanan ada yang berwujud dan tidak berwujud. Kelompok manusia yang berusaha membangun wujud ( kalau kata Ibnu Arabi) adalah bentuk konsep yang lebih rendah dibandingkan yang abstrak, kenapa ? Karena dimensi manusia punya batasan, bahkan manusia tak dapat mendengar suara dalam frekuensi supersonik atau infrasonik, atau melihat cahaya yang sudah di luar jangkauan panjang gelombang terlihat. Kemampuan indera manusia yang digunakan untuk menangkap citra ( imaji) itu ternyata ada batasnya.

    Dua poin di atas, menjadi dasar pemodelan berpikir bahwa :
    1. Memahami tahapan pemikiran objek sebelum mengeluarkan pernyataan/ hipotesis adalah penting.

    2. Manusia berusaha menjelaskan/ mendefinisikan apa yang ada di sekitarnya, itu adalah bentuk tafsir semesta. Dan lalu terjadi penggandaan ide ( meme) untuk membuat kesepakatan kolektif tentang sesuatu hal. Tapi, itu belum tentu benar, selalu ada peluang falsifikasi.

    3. Konsep pemahaman kita masing- masing itulah, yang akan dipertanggungjawabkan kepada yang Mahatahu, dan yang memberikan alat (tools) berupa indera kepada makhluk bernama manusia. Kita hidup dalam satuan kelompok, dan bertanggung jawab secara individu.

    ReplyDelete
  2. Errr, Mas-mas, bisa pakai bahasa yang lebih mudah dipahami nggak? Itu dasar pemodelan berpikirnya susah untuk aku cerna.

    1. [Memahami tahapan pemikiran objek] Objek? Jadi manusia dianggap sebagai objek?

    ReplyDelete
  3. @Pue Baraka: Apanya ya?ng ribet

    ReplyDelete