Thursday, February 11, 2010

Tahajjud Mahasiswa: Deru Rindu Memburu Toga

Dunia akademis adalah wilayah yang menjunjung tinggi segala hal yang berbau rasional dan obyektif. Karena itulah banyak civitas akademis yang menolak, bahkan antipati dengan hal-hal yang postrasional dan metafisis. Alih-alih memercayai bahwa ada kekuatan ghaib yang mampu menggerakkan kesuksesan duniawi, dunia akademis bahkan memaksa civitasnya untuk menghakiminya sebagai tahayul, churafat, dan sebagainya. Akibat langsung dari dunia yang serba rasional itu, mereka melewatkan hal penting yang merupakan bagian dari pusaran dunia, yakni dunia metafisis, spiritual, post-rasional, dan post-material. Ketika muncul masalah yang tak mampu lagi diselesaikan secara rasional, yang terjadi adalah resah gelisah, bahkan bunuh diri pelan-pelan.

Dalam konteks demikianlah sebenarnya, keberadaan tahajjud menjadi penting bagi kalangan akademisi.
Tahajjud menjadi jalan alternatif bagi kaum akademis untuk menciptakan katarsis bagi kegalauan mereka menghadapi masalah-masalah yang tak mampu dijangkau akal. Terdapat beberapa kisah menarik yang bisa dirujuk, khususnya bagi para mahasiswa, yakni diakhiri dengan wisuda. Inilah kisah paripurna dari para mahasiswa yang berhasil memenuhi salah satu harapan orang tuanya, yakni menyelesaikan kuliah. Di tengah perjuangan tertatih-tatih, akhirnya mereka mengubah diri dengan mukjizat tahajjud, dan melesatkan studi mereka menuju bangku wisuda.

Hida, misalnya. Jauh-jauh dari Cilacap di pesisir selatan Jawa, ia studi S1 di sebuah kampus negeri di Yogyakarta. Berbagai cerita heroik tentang perjuangan mahasiswa menentang ketidakadilan telah terekam dalam pikirannya sejak belum menjadi mahasiswa. Itulah sebabnya, begitu kakinya menginjak bumi kampus pada detik pertama, informasi pertama yang dicarinya adalah keberadaan berbagai organisasi mahasiswa, mulai dari yang hobbies, hingga yang idealis. Mulailah hidupnya dimulai dari rapat ke rapat, pelatihan ke pelatihan, seminar ke seminar, diskusi ke diskusi.

Malang melintang di dunia organisasi mehasiswa membuatnya sangat kaya pengalaman hidup; kenyang makan asam garam, kata orang. Menekur diri di ruang kelas menghadap dosen? No way. “Pikir saya waktu itu, masuk kuliah merupakan pekerjaan aneh. Masak kita nonton orang kerja! Dosen yang sedang mengajar itu kan bekerja, dan kita sebagai mahasiswa melihatnya bekerja!” ujarnya, sembari terkekeh. Sikap slengekan itu pula yang membuatnya kian hanyut dalam kegiatan kemahasiswaan. Entah berapa kota telah dilaluinya untuk mengikuti berbagai kegiatan, mulai pelatihan ringan hingga demonstrasi anarkis.

Tak pernah terpikir oleh Hida, ia telah berada di ujung usia akademik. Ia melalui acara OSPEK demi OSPEK, dari tahun ke tahun, dengan rasa bangga karena berdiri gagah di hadapan mahasiswa baru, juniornya. Ketika suatu saat, seorang adik kelasnya yang tak pernah bertemu dengannya di SMU tiba sebagai mahasiswa adik jurusannya, ia ternganga tak percaya. Adik kelasnya itu tak pernah ditemuinya (di SMU) karena beda tingkat dengannya beberapa tahun. “Lho, ini Mbak Hida yang terkenal di SMU ya?” celetuk adik kelas Hida. “Kok tahu?” seru Hida melongo. Bagaimana dia bisa tidak mengenal orang yang telah mengenalnya. Biasanya dia berlagak seperti artis; wajar bila banyak yang mengenal, meskipun ia tidak pernah mengenal fans-nya. Tetapi, karena sosok di depannya menyebut-nyebut asal sekolahnya, Hida terhenyak pula.

“Saya mendapat banyak cerita tentang Mbak dari para guru kita. Ya, pak A, bu B, pak C, bu D, masih ngajar semua. Mereka yang banyak bercerita tentang mbak. Katanya mbak dulu sangat pintar ya? Sekarang sudah bekerja?...” pertanyaan bertubi-tubi tersebut tidak menarik minat Hida, justru membuatnya tersentak.

“Ya, doakan saja. Mbak masih skripsi,” ujarnya menutup diri. Yang dimaksudkan skripsi adalah dia sedang mencari judul skripsi, sembari menyelesaikan beberapa mata kuliah yang tertunda gara-gara kemalasannya kuliah.

“Lho! Berarti, sekarang mbak semester berapa?” sekarang, ganti adik kelasnya yang kaget, melongo mendengar Hida belum lulus kuliah.

Pertemuan itu membuat Hida tersadar, usia akademiknya sudah diujung tanduk. Sementara, ia belum mengerjakan skripsi dan harus menyelesaikan beberapa mata kuliah wajib. Saat seperti itu, dirinya benar-benar kalut, antara kekhawatiran tidak mampu menyelesaikan kuliah, perasaan bersalah kepada orang tua, dan sekaligus rasa pesimis yang menghujam. Detik demi detik, mendadak Hida diingatkan satu hal: tahajjud. Entah, bagaimana caranya, Tuhan mengirim pesan cinta kepadanya: tahajjud.

Inilah hal yang tak pernah terpikir olehnya, meski ia adalah aktivis masjid kampus. Memang, seperti juga banyak orang, apa yang digembar-gemborkan memang tak selalu dapat ditunaikannya dengan sempurna, termasuk tahajjud itu. Ia ingat benar, bagaimana mendoktrin adik-adik kelasnya untuk tekun beribadah kepada-Nya, termasuk rajin tahajjud. Namun, harus diakuinya, ia tidak sebaik yang diteriakkannya kepada adik-adik kelasnya itu.

Di tengah keheningan malam, ia mulai memarkir dirinya ke ruang kos dan diabaikannya beberapa kegiatan yang telah menantinya. Di kesunyian malam itu, ia bermunajat kepada-Nya, merenungkan kembali apa yang telah dilalui-Nya. ”Saat itu, saya benar-benar seperti berdiri di hadapan-Nya, seorang diri. Allah benar-benar seperti memunculkan segala memori perjalanan saya hingga saat saya bertahajjud itu. Saya ingat dengan orang tua, yang menanti dengan penuh harap agar saya belajar dengan baik, lulus kuliah, dan bekerja. Memang, saya mesih memiliki beberapa adik yang bersekolah. Orang tua berharap, selain meringankan beban orang tua, dengan cepat lulus kuliah saya dapat segera bekerja dan membantu mereka mencarikan biaya sekolah adik-adik,” kenang Hida.

Ketika tahajjud itu, Hida benar-benar menemukan makna penting dari do’a kepada orang tua. Duhai Tuhanku, ampuni aku dan kedua orang tuaku. Dan sayangi keduanya, seperti mereka mendidikku di kala kecil.

Detik-detik bermunajat kepada-Nya itulah yang menggiringnya kepada cara pandang baru untuk memaknai doa. Betapa orang tua telah berjuang keras untuk membesarkannya, tidak semata fisik tetapi juga yang lain, termasuk intelektualitas! Tetapi, apa yang telah diberikannya? Kebanggaan? Bukan. ”Saya tiba pada sebuah kesimpulan bagaimana mungkin saya sangat heroik berdemonstrasi kesana-kemari, mengisi diskusi kemana-mana, tetapi untuk memenuhi harapan orang tua saja tak mampu?” renungnya ketika itu.


Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman 31:14)


Inilah yang menyentakkan kesadaran Hida, hingga di tengah tahajjud itu pula ia merancang rencana kuliah. Ia mendaftar meta kuliah yang belum selesai, memasang target baru dengan waktu tersisa, termasuk merencanakan berbagai kemungkinan jalan penyelesaian skripsinya.

Langkah paling ‘revolusioner’ yang dilakukannya adalah menjual HP. Ia ingin ‘menciptakan keheningan’ diri dan menunda hal lain yang tak terkait urusan studi. Ia telah memasang tekad: dalam waktu setahun ke depan, ia harus lulus! Ia tekuni kuliah yang tersisa, satu demi satu, tak peduli kuliah bersama adik-adik kelasnya yang semester 1. “Hampir semua mata kuliah di setiap semester saya ikuti,” ujarnya. Tidak heran bila dosennya kerap menyindir, “Hari ini saya kuliah dengan ditemani seorang asisten dosen.” Dan, tentu saja, guyonan itu disambut ‘baik’ oleh adik-adik kelasnya. Tetapi ia tak peduli. Ia hanya ingin lulus, demi orang tua.

Skripsi dapat diselesaikannya dengan cepat. Dengan pengalamannya sebagai aktivis, mengumpulkan dan menganalisa data bukanlah pekerjaan sulit. Dengan beberapa kali bimbingan, ia telah berhasil menyelesaikan skripsi, tepat saat ia tinggal menunggu mata kuliah terakhir keluar nilainya. ”Jadi, pas benar, skripsi selesai dan tinggal menunggu nilai terakhir untuk syarat ujian skripsi,” katanya. Akhirnya, tepat di ujung usia akademik itu, ia akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah. Ia berterima kasih kepada adik kelasnya yang ’menyindir’ dan Allah yang menggerakkan mukjizat tahajjud dari tengah keheningan malam. ”Saya merasakan benar, ditengah kesunyian itu, ada yang membimbing saya untuk merenung, mengeksplorasi kembali apa yang telah saya lakukan dan apa yang akan terjadi esok. Itu melahirkan kekuatan bagi saya untuk segera menyelesaikan kuliah. Bayangkan, apa jadinya bila saya tidak selesai kuliah? Nasib terkatung-katung!” serunya.

*) Disadur dari Tahajud Energi Sejuta Mukjizat karya Muhammad Thobroni dengan sedikit pengubahan

NB: Untuk kawan-kawan yang sedang berusaha meloloskan diri dari ’jeratan’ gajah dengan membawa pulang toga serta ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain =)

No comments:

Post a Comment