Sunday, May 27, 2012

Batik Pekalongan di Mataku

Batik "Kaharsayan Giri"
Sejarah Batik Pekalongan

Batik, jika diamati, bukan hanya selembar kain biasa. Ia telah menyimpan coretan sejarah serta makna dalam goresan yang tertera di atasnya. Setiap peristiwa, peralihan kekuasaan serta perubahan politik, sosial & agama pun tak luput menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan batik. Secara umum, terdapat tiga periode sejarah batik Pekalongan.

Sejarah mencatatkan bahwa batik telah berkembang di Pekalongan pada abad VII-XI Masehi, di bawah kekuasaan Wangsa Syailendra & Sanjaya (Kerajaan Mataram Kuno, Airlangga & Singosari). Kedua Wangsa tersebut beragama Hindu-Budha beraliran Syiwa Tantra & Animisme, maka tak heran ragam hias batik pada masa itu dipengaruhi oleh seni arca, seni ukir & seni percandian yang berkembang di Jawa Tengah & Jawa Timur. Ini merupakan periode pertama

Pada periode pertama, contoh motif yang dihasilkan adalah tumpal, ukel, garis lingkaran, ceplokan, padma sabha, gringsing, garis gelombang yang dikenal sebagai motif pilin, meander, swastika, dsb. Bahan pewarna batik Pekalongan Kuno berasal dari alam dengan warna dasar yang didominasi putih & biru kecuali pada batik Jelamprang yang berwarna cerah. Batik pada awal masa ini diproduksi dengan sistem celup ikat kemudian mengalami kemajuan menggunakan teknik lukis atau colet. Fungsi batik lebih kepada alat penunjang peribadatan, medium kosmis, yang menghubungkan antara dua dunia. Dengan ini, batik memperkuat konsep Manunggaling Kawula Gusti

Periode kedua terkait perubahan kondisi geografis Pekalongan sekitar abad XV. Sebagian besar garis pantai  di utara Pulau Jawa berubah akibat sedimentasi aluvium laut sedalam 100 meter. Kemudian, endapan lumpur sungai-sungai di Dataran Tinggi Serayu bagian utara seperti Sungai Kupang, Sungai Wirodeso & Sungai Comal membentuk daratan. Hal ini menyebabkan munculnya Kota Pekalongan Baru yang terletak di utara. 

Selain perubahan tempat tinggal, pada masa ini juga timbul perubahan sistem sosial, mata pencaharian, dan keagamaan. Penduduk Pekalongan menjadi bertambah dengan adanya pendatang dari Timur Jauh (Cina & Arab), yang secara umum bersifat  lebih terbuka & dinamis. Mata pencaharian mereka adalah pedagang dan nelayan, sedangkan mata pencaharian pribumi pada masa itu lebih berbasis agraria. Agama para pendatang ini mayoritas Islam. 

Dikarenakan perubahan yang diusung para pendatang ini,distribusi batik menjadi lebih mudah dan bersifat antar pulau bahkan negara. Fungsi batikpun berubah dari hanya sekedar bersifat sakral menjadi ekonomis juga. Beberapa motif batik kuno masih dipertahankan bercampur dengan motif lain yang mendapat pengaruh Islam.  

Periode ketiga berlangsung pada abad XV hingga sekarang. Pada masa ini, batik berkembang sesuai dengan peristiwa sejarah yang mengiringinya, mulai dari semakin berkembangnya akulturasi antara ragam hias Cina, Arab & pribumi; kependudukan Jepang yang menimbulkan motif pagi sore akibat kebijakan pengaturan jumlah tekstil yang beredar; meningkatnya kepopuleran motif Hokokai karena kehalusan tekniknya, pewarnaan yang menarik serta motif yang diadaptasi dari motif Cina; batik Hokokai Jawa Baru pada masa pasca proklamasi serta munculnya beragam motif batik dengan cita rasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di Nusantara. 

Ciri Khas Batik Pekalongan

Selain motif Jelamprang, batik Pekalongan bersifat kontemporer. Tidak ada yang bersifat baku pada motifnya. Hanya saja, isen-isen Pekalongan terkenal akan kerapiannya dan ukurannya yang kecil serta warna yang atraktif. Khusus untuk warna, batik Pekalongan lebih mengandalkan pewarna kimia. Baik menggunakan naphtol; indigosol; rapid; serta zat warna reaktif sperti procion. Zat warna diaplikasikan dengan teknik colet ataupun celup. Khusus untuk batik daerah Batang, ragam hiasnya lebih mengacu kepada batik pedalaman dan warnanya bertumpuk sehingga terkesan kusam.

Jika diperhatikan, warna batik pesisir, termasuk Pekalongan, cenderung terang. Asumsi saya, hal ini berkaitan dengan sistem kemasyarakatan yang terbuka yang didominasi oleh pendatang serta dipengaruhi oleh kandungan garam yang membuat warna terlihat lebih cerah. 

Satu hal yang menarik perhatian ahli sejarah dan batik adalah penggunaan warna yang cerah pada batik Hokokai. Kecerahan warnanya seolah tidak sesuai dengan kesuraman kondisi masyarakat yang menderita karena terjajah.

Model Perusahaan Batik Pekalongan

Umumnya, perusahaan batik Pekalongan berbentuk Industri Kecil Mengengah (IKM). Menurut data situs Deperindagkop Kota Pekalongan 2011, terdapat 632 unit usaha batik yang menyerap 9.841 tenaga kerja dengan nilai investasi lebih dari Rp 27 M. Jumlah penduduk Pekalongan pada tahun 2010, menurut situs http://regionalinvestment.bkpm.go.id sebesar 281.434. Jika pertumbuhan penduduk setiap tahunnya 1%, maka sekitar 3.46% penduduk kota Pekalongan menggantungkan perekonomiannya secara langsung pada industri batik. Di samping itu, terdapat 2.68% penduduk kota Pekalongan yang menggantungkan secara tidak langsung perekonomian mereka terhadap industri batik. Kelompok ini terdiri dari tenaga kerja yang bekerja di bidang pertenunan ATM & ATBM serta pakaian jadi dari tekstil.

Kebanyakan kaum kapitalis dalam industri ini, memiliki hubungan kekerabatan. Sistem yang ada diwariskan secara turun temurun, tak terlalu banyak inovasi yang ada dalam hal produksi. Inovasi lebih dipusatkan pada sistem distribusi, yakni memasuki pangsa pasar retail.


Uniknya, meskipun sistem perusahaan diwariskan secara turun temurun, tetapi pada umumnya, branding maupun perusahaan tersebut tidak diwariskan. Sebagai contoh, juragan batik dengan merk dagang A memiliki 3 orang anak. Kesemua anaknya setelah dewasa memutuskan untuk ikut berkecimpung dalam dunia batik. Mereka memiliki branding yang berbeda dengan orang tuanya. Jadi, setelah orang tuanya meninggal, ia tak memiliki penerus branding dan biasanya perusahaan tersebut ikut mati bersamanya.

Hubungan kekerabatan yang dijalin antar pemilik perusahaan batik biasanya ditempuh melalui jalur penikahan. Sistem ini sebenarnya baik untuk menjaga nilai dalam keluarga-keluarga tersebut serta secara tidak langsung ikut menjaga kelestarian industri batik di Pekalongan.

Budaya Masyarakat Batik Pekalongan

Sama dengan industri lain, kelompok pemegang kapital dalam industri batik merupakan kelompok eksklusif yang susah ditembus. Pasca kemerdekaan, peluang buruh batik naik status menjadi juragan batik semakin kecil dibandingkan masa kolonial. Pada masa kolonial, kebanyakan pengusaha pribumi adalah mantan buruh batik juragan Timur Asing (Tionghoa & Arab).

Pengusaha batik pribumi mengalami kesulitan bersaing dengan para pengusaha batik Timur Asing dalam hal permodalan, manajemen, pemasaran & distribusi. Kebanyakan pengusaha bahan batik seperti warna dikuasai oleh Tionghoa, jadi mereka dapat menghasilkan produk yang lebih murah dibandingkan yang lain. Meskipun secara perekonomian 6.14% penduduknya bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan industri batik; nilai investasi IKM batik 35.93% dari total investasi industri kota Pekalongan; dan batik Pekalongan terkenal akan kualitas warnanya, tak ada pabrik bahan pewarna di Pekalongan. Kebanyakan bahan pewarna diimpor dari luar negeri.

Hanya pedagang sekaligus produsen yang sudah mapan secara ekonomi yang mampu menghasilkan batik dengan cecek kecil karena perputaran uang yang dihasilkan barang seperti itu sangatlah lama. Biasanya kain panjang atau sarung dengan cecek kecil dan merata dibuat dalam waktu tiga bulan lebih. Apalagi jika diterusi (proses batik tulis di dua sisi). 

Jumat dijadikan hari libur, kemungkinan karena pengaruh Islam dan juga sistem buruh harian. Secara matematis, pengusaha akan merugi jika mempekerjakan buruh harian di hari Jumat dengan jam kerja efektif kurang dari tujuh jam. Buruh batik biasanya bekerja dari jam 08.00-16.00 dengan istirahat 12.00-13.00.

Nyaris tak ada jenjang karir dalam perusahaan batik. Semua pekerjaan dilakukan secara spesialisasi dan lama pengabdian dalam perusahaan tersebut tidak terlalu berpengaruh pada upah yang didapat kecuali besarnya Tunjangan Hari Raya (THR).

Secara umum, terdapat enam kelompok besar pekerjaan di dalam perusahaan batik Pekalongan, yaitu:

1. Desainer & penjaplak. Terkadang di beberapa rumah batik, bagian desain dan japlak dipisahkan.
2. Pembatik tulis, biasanya kaum wanita.
3. Pembatik cap, biasanya kaum lelaki.
4. Penembok yang bertugas menutup sebagian atau keseluruhan hasil proses canthing.
5. Quality controller, atau tukang cos. Setelah batik diwarnai dan ditemboki sebagian, maka tukang cos bertugas untuk memeriksa kerapian hasil penembokan. Jika tidak rapi, maka ia menghapus malam dengan tiga cara, yaitu menggunakan gabus yang diberi air panas bercampur soda ash; mengusapkan besi panas pada kain yang telah dibasahi air; atau memanfaatkan malam setengah kering yang dikumpulkan di ujung jari.
6. Bagian pewarnaan, mulai dari menimbang takaran pewarna dan bahan sampingannya hingga mencelup, melorod malam dan menjemur.

Dengan dikukuhkannya batik sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco, industri perbatikan mulai mengalami kebangkitan lagi. Tak hanya sentra batik yang telah terkenal seperti Pekalongan, Solo, Jogja, Lasem, Cirebon yang sekarang kebanjiran pesanan; daerah lainpun ikut mengembangkan batik dengan cita rasa lokal. Mari menggunakan batik :)

PS: Artikel ini dikembangkan dari buku Kusnin Asa berjudul Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah serta observasi penulis selama sebulan di Pekalongan. 

No comments:

Post a Comment