Friday, November 11, 2011

Resensi Buku: Riwayat Semarang

Judul: Riwayat Semarang
Penulis: Liem Thian Joe
Tebal: 319 halaman
ISBN: 979-96952-1-X

Semarang merupakan salah satu kota tertua di Jawa Tengah yang bermodelkan kota perdagangan. Posisinya dalam perekonomian masyarakat Hindia Belanda di Pulau Jawa amat penting karena ia merupakan jalur distribusi utama dari barang-barang import untuk disalurkan ke daerah terpencil maupun barang-barang yang hendak di-eksport ke benua Eropa. Bahkan, pada tahun 1702, Semarang menjadi ibukota dari kerajaan Mataram.

Liem Thian Joe dalam Riwayat Semarang lebih banyak menyorot tentang kehidupan Hoakiauw (Tionghoa perantau) di Semarang. Bangsa Tionghoa diperkirakan pada tahun 1416 sudah datang menetap di Semarang. Mereka datang dengan menggunakan perahu jonk, yang kebanyakan mendarat di daerah Mangkang. Setelah keadaan politik & perekonomian Tiongkok memburuk pada masa pendudukan Manchu, maka semakin banyak penduduknya yang memilih untuk merantau, termasuk ke wilayah Semarang.

Pada tahun 1600-an, terdapat banyak kaum peranakan di Pulau Jawa. Mereka berayah Tionghoa dan beribu pribumi. Hal tersebut menyebabkan akulturasi kebudayaan antara Tionghoa dan pribumi. Akan tetapi, kebanyakan anak perempuan dari pernikahan tersebut menganut budaya Ibu-nya (hal 16). Hal ini disebabkan mereka dianggap tidak dapat menurunkan marga dan secara budaya Tionghoa, Ayah tidak dekat dengan anak-anak perempuan mereka.

Karena jumlah penduduk Tionghoa di Hindia Belanda semakin banyak, maka VOC memutuskan untuk mengangkat perwakilan Tionghoa yang juga bertindak sebagai penghubung antara VOC & masyarakat Tionghoa. Perwakilan tersebut diberi gelar yang sama dengan militer, yaitu MayoorLuitenant & Kapiten. Mereka sering disebut dengan officier der Chinezen. Para officier tersebut tergabung dalam Chineese Raad atau Kongkoan, yang bertugas mengurus segala macam urusan masyarakat Tionghoa, mulai dari perkawinan; kematian; maupun perkembangan lainnya. Selain itu, mereka juga bertugas untuk mengumpulkan pajak masyarakat kepada Kompeni.

Kapiten pertama di Jawa Tengah adalah Kapiten Kwee Kiauw. Jika diperhatikan, pada umumnya officier der Chinezen di Jawa Tengah bermarga Tan. Buku ini memaparkan contoh-contoh bahwa orang yang berkuasa memiliki hubungan dengan orang yang berkuasa lainnya, baik secara ikatan darah maupun tidak.  

Sebagai imbal balik dari jasa para officier der Chinezen, maka VOC memberi mereka gaji --tentu saja-- dan kesempatan untuk menjadi pachter. Peran mereka sebagai pachter ini yang menarik perhatian saya. Seorang pachter merupakan pemegang lisensi penjualan suatu produk. Menurut saya, ini merupakan bukti bahwa masayarakat di kawasan Hindia Belanda sudah mengenal proses distribusi & tahu bagaimana mengambil keuntungan dari proses tersebut. Sebagian besar para pachter, jika tidak bisa disebut semuanya, berasal dari masyarakat Tionghoa. Biasanya, mereka mendapatkan pacht tersebut melalui proses pelelangan. Ada lima pacht yang disebutkan Liem Thian Joe dalam buku ini, yaitu garam; hutan; pasar; candu; maupun judi.

Jika dilihat dari pangsa pasarnya, saya membagi kelima pacht menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memiliki pangsa pasar yang luas, yaitu garam, hutan dan pasar. Sedangkan kelompok kedua, yang memiliki pangsa pasar lebih spesifik yaitu komunitas Tionghoa. Kelompok ini terdiri atas candu dan judi, yang termasuk legal pada saat itu. 

Liem Thian Joe menuliskan bahwa hanya sedikit hartawan Tionghoa pada zaman itu yang bebas dari menghisap madat/candu. Malah, pada umumnya mereka menganggap madat bukanlah racun. Ketika disuguhi  candu saat berkunjung ke rumah hartawan, maka itu merupakan kehormatan besar bagi para tamu tersebut (hal 169). Lantaran permintaan pasar yang selalu tinggi, dan bahkan meningkat, maka tak heran, pachter madat saat itu bisa kaya mendadak. Sama seperti madat, kegiatan perjudian juga merebak di kalangan masyarakat Tionghoa.

Agar hubungan antara pachter dan gemeente (pemerintah) semakin harmonis, maka tak segan para pachter tersebut memberikan semacam tanda mata kepada para ambtenaar (pejabat). Sounds familiar?

Jika diperhatikan, para officier der Chinezen pada saat itu awalnya berprofesi sebagai pedagang yang sukses. Kemudian pemerintah mengangkat mereka berdasarkan kedudukan mereka di masyarakat Tionghoa, baik secara status ekonomi maupun sosial. Hampir tidak disebutkan dalam buku itu bahwa ada dari mereka yang melakukan tindak korupsi, meskipun tindakan tersebut menjamur di kalangan VOC yang mempekerjakan mereka. 

Uniknya, tak sedikit dari para officier Tionghoa cum pachter tersebut yang memiliki kemampuan bela diri, atau jika mereka merasa tidak terlalu mahir, maka mereka akan menyewa pengawal (hal 120), atau yang disebut dengan "cabang atas". Mengapa demikian? Karena, keadaan topografis saat itu tidak terlalu mendukung dan banyak penyamun yang berusaha mengincar barang dagangan mereka pada saat proses distribusi. Kalau mereka tak bisa mempertahankan diri ataupun tak memiliki koneksi dengan "cabang atas", maka resikonya ada dua, yaitu mati atau kalau beruntung, hanya barang dagangannya saja yang ludes diambil oleh para penyamun. Selain memperebutkan posisi officier dan pachter, para Hoakiauw juga sering mengincar posisi sebagai anggota Budelkamer (Balai Harta Warisan)

Pelajaran yang saya petik dari para officier Tionghoa adalah untuk menjalankan sebuah tanggung jawab kepemerintahan, diperlukan ilmu administrasi (yang didapatkan dari pengalaman berdagang) dan juga ilmu strategi serta kedisiplinan yang baik (didapatkan dari pengalaman bela diri). 

Liem Thian Joe di dalam buku ini seolah-olah menggambarkan bahwa Hoakiauw tersebut bukan bagian dari bangsa Indonesia. Mungkin hal ini dipengaruhi dua faktor. Faktor pertama, atar belakangnya sebagai jurnalis harian Sin Po. Benny G. Setiono dalam bukunya berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik Indonesia menyebutkan, harian Sin Po berkiblat pada gerakan Pan Tiongkok. Jadi, mereka berpendapat bahwa semua Hoakiauw di Hindia Belanda adalah bagian tak terpisahkan dari Tiongkok Raya dan bukan bagian dari kawula Belanda. Mereka juga menolak keterlibatan dalam Volksraad (MPR). Kebanyakan pendukung gerakan Pan Tiongkok ini merupakan alumni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), termasuk Liem Thian Joe.

Faktor kedua, Liem menggunakan arsip dari Kongkoan sebagai sumber utama dari penulisan buku tersebut. Karena Kongkoan merupakan Chineese Raad yang berkutat pada segala permasalahan masyarakat Tionghoa, maka tak heran jika buku Riwayat Semarang lebih menitikberatkan pada sudut pandang sejarah Hoakiauw.

Dari buku Riwayat Semarang ini, didapatkan gambaran bahwa politik devide et impera yang dijalankan gemeente (pemerintah) sangatlah busuk. Jalinan yang harmonis antara penduduk "pribumi" dengan para orang timur asing dirusak dengan peraturan wijkenstelsel (peraturan yang membatasi ruang lingkup hunian bangsa Tionghoa) dan passenstelsel (perauran tentang surat jalan). Dampak dari politik devide et impera pun sampai saat ini masih dapat dirasakan. Baik dari golongan "bumiputera" maupun "bangsa Tionghoa" terdapat semacam sentimen yang terkadang tidak memiliki alasan logis yang mendasar *Yah, namanya juga sentimen*. Padahal, dengan menghilangkan sentimen tersebut, kita bisa punya energi lebih untuk mencapai kepentingan yang lebih besar, yaitu memajukan perekonomian bangsa. Hehe

12 comments:

  1. Politik segregasi untuk memecah konsentrasi, itu lazim dijalankan rezim penguasa. Bukan sesuatu hal yang salah, karena dalam keadaan saat itu, mungkin itulah opsi yang paling mungkin untuk dijalankan, demi menjaga stabilitas.

    Dalam keadaan stabil, maka modal sosial ( Social Capital) yang harus didepankan adalah "Trust", setelah yang pertama sudah beres, yaitu "Safety". Nah, dalam masa ini, segregasi mulai dibuka sekatnya, karena memang untuk membangun sebuah aktivitas ekonomi dan itu berarti distribusi pendapatan merata, maka yang menjadi Sine Qua Non adalah : Rasa Percaya antar manusia penghuni struktur kemasyarakatan tersebut.

    ReplyDelete
  2. Yeah, I'm back! Bisa komen lagi di blog sendiri hehe

    Politik segregasi juga dijalankan penjajah saat menghadapi pihak Kraton. Stabilitas? Hanya dari salah satu pihak,yaitu penjajah, IMO.

    ReplyDelete
  3. mau tanya mbak mutya,apakah buku ini menyinggung akulturasi budaya cina-arab-jawa yg terwujud pada "warak ngendog" ?

    ReplyDelete
  4. Buku Riwayat Semarang tidak menyinggung tentang "warak ngendog", Mas Abi. Dalam buku ini, Liem Thian Joe sangat sedikit menggambarkan akulturasi kebudayaan. Paling juga penggunaan baju Eropa oleh Oei Tiong Ham yang kemudian diadaptasi oleh banyak orang Tionghoa peranakan setelahnya.

    ReplyDelete
  5. mbak, bisa diinfo ga saya bs dapetin buku ini lagi dimana? buat skripsi saya soalnya..hehhe..thanks ya mbak..

    daniel - equaledby2@gmail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Daniel, sudah saya kirim email terkait buku ini ya.

      Delete
    2. Hello Mbak Mutya Dyan, saya ingin tahu juga bagaimana memperoleh buku ini. Kebetulan saya mahasiswa S3 dan sedang meneliti mengenai Semarang. Apakah Mbak Mutya Dyan berkenan memberitahu melalui email? Berikut alamat email saya: erwinnug@yahoo.com.

      Terima kasih banyak sebelumnya.

      Salam,
      Erwin

      Delete
    3. Halo, Mas Erwin. Sudah saya kirim email ya, barusan.

      Delete
  6. Boleh k saya hendrian.nugroho@gmail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal Mas Hendrian. Baru saja saya kirim email terkait ini.

      Delete
  7. Assalamualaikum kak, boleh meminta ebooknya ka? soalnya untuk tugas kuliah.. makasih sebelumnya ka

    ReplyDelete
  8. halo kak, apakah ada bukunya dalam bentuk digital?kalau ada boleh tolong dikirim ke email martinaftrl@gmail.com terima kasih

    ReplyDelete