Surya Majapahit |
Sapta Dharma Gajahmada (6 Sifat Pemimpin)
Seorang ksatria yang setia kepada negerinya, hendaklah memiliki setidaknya enam sifat kesatria suci:
- Abhikamika, artinya abhi = keagungan, keluhuran, kami = saya, pribadi, diri, mika = minongka, sejati. Seorang satria suci sejati pangemban praja harus zahid, berkepribadian agung, luhur, berakhlak mulia, rendah hati, dan membela kepentingan kawula alit.
- Prajna, artinya bijaksana, teladan. Seorang kesatria suci sejati pangemban praja adalah uswatun khasanah, harus bijaksana, sehingga dapat menjadi suri tauladan bagi kawula alit/rakyat.
- Usaha, artinya berupaya tanpa pamrih. Seorang satria suci sejati pangemban praja harus tulus ikhlas, lillahi ta'ala, dalam berupaya.
- Atma Sampat, artinya atma = jiwa, ruhani. Sampat = utuh sempurna. Seorang satria suci sejati pangemban praja harus seorang insan kamil
- Sakya Samanta. Sakya = padhang, terang benderang. Samanta = satmata, pandangan, pengelihatan. Seorang satria suci sejati pangemban praja harus memiliki bashirah, pandangan bersih dan suci, mampu menyelami hakikat kehidupan.
- Aksudara Parisakta. Aksa = ulat, tingkah laku. Sudra = kawula alit, rakyat jelata. Parisakta = lebih agung, lebih sakti. Seorang satria suci sejati pangemban praja harus bertingkah laku seperti orang biasa, sederhana, apa adanya, lugu, tidak sombong, tidak neko-neko, tidak tinggi hati, tidak merasa sebagai orang hebat/ megalomania.
Terntara negeri Majapahit adalah mengemban amanah Allah Ta'ala. Oleh karena itu harus bersikap sebagai berikut:
- Jana Wisesa Suda. Jana = Manusia. Wisesa = berkuasa. Suda = mengurangi, menghindari. Artinya, menjadi manusia yang tidak bernafsu angkara terhadap gemerlapnya segala pangkat dan kuasa.
- Kaprahitaning Praja. Prahita = puruhita = parahita = guna. Praja = pemerintahan. Artinya, pemerintahan yang menjadi pembimbing, pendidik, dan guru bagi kawulanya.
- Kawiryan. Wirya = berani karena berpegang teguh kepada kesucian, keluhuran, dan kebenaran.
- Kawibawan. Wibawa = kemuliaan karena budi pekerti dan akhlak yang mulia.
- Ngesti Aji. Ngesti = doa, mendoakan, mengutamakan. Aji = mustika, keramat, karena kedekatannya dengan Allah SWT. Artinya, hidup secara keramat dengan terus menerus mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Sebagaimana Puntadewa atau Samiaji.
- Ngesti Giri. Giri = keluhuran, ketinggian, karena ditinggikan (rofa') Allah Ta'ala. Artinya, hidup mengutamakan keluhuran budi. Sebagaimana Arya Wrekudara.
- Ngesti Jaya. Jaya = kemenangan, membuka. Artinya, hidup demi membela tanah air menuju kemenangan. Sebagaimana janaka atau Raden Permadi.
- Ngesti Nangga. Nang = pada. Angga = pribadi. Nangga = menyangga, mendukung. Artinya, hidup dengan pribadi yang menjunjung tinggi keluhuran dan kebenaran. Sebagaimana Raden Nakula.
- Ngesti Priyambada. Priya = yang di dasar hati nurani. Ambada = badha = menyamankan hati. Priyambada = pangungrum, berbicara yang lembut yang menyenangkan. Artinya, berbicara dengan hati nurani, lembut, dan nyaman bagi yang mendengarkan. Sebagaimana Sahadewa/Sadewa.
Halo halo....!!!!
Saya lagi sumringah banget beberapa hari ini! Penyebabnya saya dapat pinjaman buku 'Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi' karya Herman Sinung Janutama. Tulisan tentang Wedharan Gajahmada di atas merupakan cuplikan yang telah sedikit saya ubah bahasanya, dari buku Pak Herman itu.
Wedharan adalah nasihat/janji. Menurut kitab Usana Jawa, Gajahmada lahir sekitar tahun 1300. Nama lainnya adalah Jayamada/Dwidamada/Lembu Muksa. Bedanya, menurut buku Kesultanan Majapahit, Gajahmada merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Ketika masih remaja, Beliau berkelana menempa diri dan menyandang nama Syekh (Ah)Mada. Sedangkan nama Gajah, dalam tradisi durriyat Alawiyyin (keturunan Nabi SAW) dikaitkan dengan tanah para Alawiyyin di Hadramaut, Yaman.
Ada dua hal yang paling saya sukai dari buku Kesultanan Majapahit. Pertama, pengarang buku ini dapat menghubungkan satu hal dengan hal lain yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Cara menghubungkannya ada yang menggunakan faktor kemiripan bahasa; menerjemahkan simbol-simbol dari berbagai catatan sejarah; dan melihat faktor genetik antar tokoh sejarah. Terlepas apakah memang benar ada fakta-fakta yang tersembunyi setelah sekian lama, tapi saya sangat menghargai usaha pengarang buku untuk menarik benang merah dari berbagai macam hal.
Kedua, memberikan pandangan baru dalam memaknai catatan sejarah Nuswantara *Yeah right, Nuswantara, bukan Nusantara*. Seperti diungkapkan Louis-Charles Damais, antropolog asal Perancis, terdapat ketidakjelasan dari definisi istilah "koloni-koloni hindu" yang ditulis oleh para sejarahwan. Damais menangkap bahwa hindu disini bukanlah agama hindu, melainkan merujuk kepada istilah hindoesch, Indische, Indie atau Indo. Pengertian kata-kata ini berarti "Hindia" Belanda. Hal ini bersesuaian dengan istilah Oost Indische/Hindia Timur untuk dunia Islam (Islamistand) sebelah timur Granada. Pendapat Damais senada dengan Nancy K. Florida, filolog AS. Nancy menyimpulkan bahwa filologi kolonial berada dalam suatu struktur (pikiran) yang disebutnya "tidak-akan-melihat" kenyataan budaya Jawa yang sesungguhnya. Filologi Barat adalah proyek kolonial yang gagal "melihat signifikansi Islam" dalam teks-teks Jawa.
Ada beberapa hal menarik yang saya tangkap dari buku Pak Herman, yaitu:
1. Nuswantara itu telah mengenal millatu Ibrahim bahkan mungkin sejak sebelum kerajaan Tarumanagara. Hal ini dilihat dari tradisi penyematan tapak kaki Raja Purnawarman yang mirip dengan Maqam Ibrahim serta tradisi qurban yang mirip dengan Idhul Qurban.
2. Jangka Jayabaya adalah sebuah GBHN yang merujuk kepada nilai-nilai ke-Islam-an, bukan ramalan seperti yang selama ini disangka oleh sebagian besar orang. Jangka=ekstrapolasi profetik (prophetic extrapolation) = nubuwwah (Arab). Jayabaya = terhindar dari bencana = Islam. Rentang waktu GBHN ini berkisar 2100 tahun dimulai sejak orang-orang Nuswantara masih memegang millatu Ibrahim hingga memeluk Islam.
3. Proses masuknya Islam ke Nuswantara dilakukan oleh para durriyah, maksud Pak Herman keturunan Nabi Muhammad SAW, yang berasal dari Timur Tengah. Hmmm, hal ini agak berbeda dengan yang disampaikan oleh Benny G. Setiono dalam karyanya: Tionghoa dalam Pusaran Politik Indonesia. Dalam buku Pak Benny, para pembawanya kemungkinan berasal dari Tionghoa. Menariknya, hampir sebagian besar tokoh sejarah dari buku Pak Herman merupakan durriyah sedangkan sebagian besar tokoh sejarah (yang sama) di buku Pak Benny memiliki darah Tionghoa.
4. Nuswantara telah memiliki universitas, sebelum ada muncul tradisi sekolah di Andalusia dan Baghdad. Universitas Islam di Nuswantara tersebut adalah universitas Dyah Bukit de Cerek (840) dan universitas Dyah Cotkala (850) di Swarnabhumi utara (Perlak).
5. Para ulama durriyah saat itu mempelajari struktur budaya sansekerta yang merupakan budaya simbol, untuk mensosialisasikan ajaran Islam. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Nabi saw untuk menyampaikan risalah Islam secara "bi lisani qoumihi" . Kemudian menyesuaikannya dengan dinamika tradisi dan budaya sesuai konteks peradabannya.
6. Senada dengan buku Babad Tanah Jawi oleh W.L. Olthof, bahwa Kerajaan Sunda itu merupakan leluhur Kerajaan-kerajaan Jawa. Jadi saya merasa aneh kenapa ada pemahaman yang beredar bahwa lelaki Sunda tak boleh menikahi wanita Jawa, karena seolah-olah akan menikahi kakak perempuannya?
Bagaimanapun juga, adalah hal yang "penting" dan "menyenangkan" bagi setiap generasi untuk mempelajari perjalanan generasi terdahulu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama :)
Halo salam kenal saya senang bisa membaca tulisan anda
ReplyDeleteterimakasih
Salam kenal juga.
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir :)
Salam Kenal Mutya
ReplyDeletemau nanya bukannya Gajah Mada itu beragama Hindu-Siva-Buddha ya?
Coba diliat sumber yang nama pengarangnya rada ke Belanda-belandaan gitu...
sy juga blm prnah baca ttg sejarah gajah mada keturunan seorang nabi (kecuali ini cerita bukan sejarah lho ya...)
Supaya nanti orang tidak malah salah mengartikan Nabi diatas malah dikira beragama Hindu-Buddha
hehehe
terima kasih
Halo. Salam kenal juga.
ReplyDeleteMaksud Mas/Mbak, agama Gajah Mada disebutkan dalam tulisan Olthof? Ini tulisan sudah dua tahun yang lalu. Setelah membaca ulang tulisan ini, posisi saya sudah berubah. Menjadi lebih skeptik, dengan mereka yang mengklaim keturunan Nabi Muhammad. Kalau belum ada uji DNAnya, saya masih ragu.
Di bagian mana ya, yang membuat orang salah mengartikan Nabi diatas beragama Hindu-Buddha? Saya nggak nemu, soalnya :)