Sebelum membaca lebih jauh, mari kita dengarkan lagu Naif yang berjudul Televisi.
"Aku ingin membeli tv 72 inchi. Untuk bisa aku nikmati. Bersama sanak famili"Awal perkenalan saya dengan TV, di bawah usia tiga tahun. Saya tak tahu dengan pasti kapan. Tetapi, di sudut ingatan, masih tersisa iklan TVRI dengan taglinenya yang terkenal saat itu, " TVRI, menjalin kesatuan dan persaaatuuuaaan".
Berhubung track record saya adalah anak rumahan, kehidupan sehari-hari Mutya kecil dipenuhi dengan suguhan televisi. Meskipun kadang diselingi main "bongkar pasang" -'boneka yang terbuat dari kertas lalu kita yang menjadi sutradaranya-- atau menonton atraksi akrobatik yang dilakukan sering adik atau sekedar membaca buku. Tapi, sebagian besar interaksi saya dibatasi televisi. Main dengan tetangga? Hahaha, nyaris tak pernah. Karena TV, dulu, saya rasa cukup untuk menggantikan manusia nyata.
Menonton TV, sebenarnya, mungkin lebih tepat seharusnya, bukan menjadi bagian utama dalam kehidupan bermasyarakat. --kecuali kalau penghidupanmu dihasilkan dari industri pertelevisian-- 'Kotak ajaib' itu hanya sekedar selingan dalam mengisi waktu luang.
Memang ada kalanya TV seolah dapat menunjang kehidupan bermasyarakat. Yaitu saat menyamakan topik dengan orang-orang. Supaya tak dianggap terasing. Baik itu terhadap sanak famili, atau bahkan dengan komunitas penggemar tontonan tertentu.
Menariknya, saya lihat beberapa orang tua 'menitipkan' pendidikan anak-anaknya dengan memberi tayangan televisi. Dengan alasan sibuk bekerja, atau yang lainnya, maka melihat anak mereka duduk manis dan tak menangis di depan televisi, merupakan good deal.
"Menyenangkan punya televisi. Lihat dunia yang berwarna-warni. Asal jangan acaranya basi. Cuma bikin keqi
Aku ingin muncul di tv. Buat acara sendiri. Bukan gossipnya selebriti. Harus yang lebih berisi"
Yeah, kurang lebih narasi di atas mirip yang pernah terlintas di pikiran saya. Sudah beberapa tahun ini saya tak menonton acara TV Indonesia, karena isinya semakin lama semakin parah. Kontennya dipenuhi drama atau lelucon basi. But then again, saya lari ke TV kabel berbayar dengan channel dari luar negeri. Apakah kontennya berbeda? Hahahaha. Tergantung kamu tonton channel & acara yang mana. Tapi satu kesamaan dari konten TV: imajinasi.
Mau diembel-embeli dengan kisah nyata atau apalah, tetap saja itu adalah imajinasi. Kecuali kalau isi televisinya menyangkut kamu secara personal. Bagaimana bisa hanya dengan menonton acara petualangan ke Afrika disamakan dengan mereka yang benar-benar mengalaminya? Atau hanya berpendapat di acara interaktif berharap akan mengubah keadaan? Atau menghakimi artis yang tak pernah kita temui lalu membuat acara rumpi hal tersebut dengan tetangga? Dagelan.
"Uh… di televisi. Banyak orang-orang sok aksi. Artis, menteri dan politisi. Berlomba cari sensasi"Sensasi itu yang kadang menghipnotis pemirsa TV. Yang membuat alokasi waktu sebagian orang berantakan. Bagaimana tidak berantakan, kalau waktu yang sebenarnya bisa dibuat lebih produktif tapi hanya dipakai nonton acara debat yang tak berpengaruh banyak bagi kehidupan kita? Atau serial TV yang isinya tentang makhluk-makhluk khayalan lalu terlarut di dalamnya.
Semakin banyak waktu yang dipergunakan untuk menonton televisi, semakin besar kecenderungan kita menjadi manusia dramatik. Proses imitasi tayangan juga semakin besar. Ketika imitasi dilakukan, otomatis uang yang dibelanjakan dalam hal konsumsi semakin besar. Kalau dalam proses tersebut posisi Anda adalah produsen, alhamdulillah. Uang mengalir lebih banyak ke rekening. Kalau cuma sebagai konsumen? Hahaha, ya alhamdulillah juga. Keinginan Anda tercapai.
Posisi sebagai konsumen televisi pulalah yang membuat sebagaimanapun saya mengkritiknya, kritik ini tak akan membawa perubahan apapun secara masif. Mungkin, hanya bisa memperkecil kuantitas menonton TV, dengan melakukan lebih banyak kegiatan di dunia nyata.
"Uh... di televisi. Banyak orang-orang sok aksi. Artis, menteri dan politisi. Berita tak guna lagi. Tidak trendy lagi. Buat apa punya tv"
No comments:
Post a Comment