Berlatar belakang sekolah Islam sewaktu TK & SMA, sedikit banyak mempengaruhi pola pikir saya tentang iman & agama. Dulu, rukun iman & rukun Islam hanyalah sebuah narasi. Narasi yang dihafalkan.
Rukun Iman terdiri dari enam butir, yaitu:
- Iman kepada Allah SWT
- Iman kepada malaikat-malaikat
- Iman kepada Kitab-kitab
- Iman kepada Rasul-rasul
- Iman kepada hari kiamat
- Iman kepada qada & qadar
Sedangkan rukun Islam terdiri dari lima butir, yaitu:
- Mengucap dua kalimat syahadat
- Menunaikan shalat
- Menunaikan zakat
- Berpuasa di bukan Ramadhan
- Berhaji bagi yang mampu
Setelah sekian lama saya hidup dalam lingkungan keluarga yang kebetulan muslim, saya baru sadar. Bahwasanya, sejak awal telah ada dikotomi antara iman & agama. Agama (Islam), sebagaimana terlihat dalam rukun Islam, membutuhkan adanya ritual. Serta dibutuhkan adanya pengakuan dan terlihat oleh orang lain. Sedangkan iman, bisa saja tak dinampakkan. Sesuatu yang bersifat personal.
Akar kata syahadat syīn hā dāl (ش ه د) dalam corpus quran, disebut 160 kali dalam Al Qur'an. Diantara turunan katanya dapat berarti to testify, to bear/make/call witness, testimony, evidence, the seen, martyr, present. Dari kesemuanya, saya mengambil kesimpulan bahwa ketika seseorang disebut bersyahadat, pada hakikatnya ia mengetahui alasan mengapa ia menyebut Tuhan adalah Tuhan, dan paham mengapa mengikuti ajaran Muhammad. Seharusnya ia telah melakukan percobaan tentang kebenaran yang ada dalam dua kalimat syahadat. Seharusnya.....
Mengapa saya mengulangi kata seharusnya pada kalimat di atas? Karena saya pun belum menemukan jawaban kebenaran yang terletak pada dua kalimat syahadat. Terutama pada kalimat terakhir. Saya tak tahu, mengapa di antara sekian banyak manusia, sekian banyak rasul, cuma Muhammad yang diperlakukan istimewa. Kalau Isra Mi'raj dianggap keistimewaan Nabi Muhammad, lalu bagaimana dengan kisah Nabi Idris yang memiliki kemiripan narasi pada Book of Enoch?
Kalau saya menganggap bahwa Book of Enoch hanyalah bualan, apakah saya telah mencederai dua butir rukun iman, terutama rukun ketiga dan keempat? Jika saya beranggapan bahwa seluruh Nabi berasal dari jazirah Arab, bukankah hal itu bertentangan bahwa ajaran keselamatan ditujukan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya ras tertentu?
Metode kodifikasi kitab Qur'an seperti yang dicontohkan corpus Qur'an, membawa saya pada pilihan yang lebih beragam tentang penafsiran ayat. Seperti saat menafsir akar kata iqra/baca. Tanpa saya duga, ayat-ayat yang mengandung akar kata qāf rā hamza (ق ر أ) sejauh ini berhubungan erat dengan ekonomi, moneter serta organisasi. Menarik.
Beragama, tanpa menyertakan proses membaca, hanya akan menghasilkan ritual kosong. Back then, saya merasa tenang saat melakukan ritus shalat. Padahal waktu itu, saya belum paham makna bacaan shalat. Ketika tahu bacaan shalat, malah segala sedu sedan melankolik tersebut lenyap. Berganti perasaan datar. Menggelikan memang :))
Tapi, apalah artinya semua tafsir yang hanya berkubang pada pemikiran. Bukankah sering dikumandangkan (setidaknya dulu di kelas sekolahku) bahwa alam semesta ini termasuk ayat-ayat-Nya? Lalu mengapa, masih berkutat saja pada penafsiran teks, tanpa pernah menjelajah dunia, duhai diri?
Mengapa saya mengulangi kata seharusnya pada kalimat di atas? Karena saya pun belum menemukan jawaban kebenaran yang terletak pada dua kalimat syahadat. Terutama pada kalimat terakhir. Saya tak tahu, mengapa di antara sekian banyak manusia, sekian banyak rasul, cuma Muhammad yang diperlakukan istimewa. Kalau Isra Mi'raj dianggap keistimewaan Nabi Muhammad, lalu bagaimana dengan kisah Nabi Idris yang memiliki kemiripan narasi pada Book of Enoch?
Kalau saya menganggap bahwa Book of Enoch hanyalah bualan, apakah saya telah mencederai dua butir rukun iman, terutama rukun ketiga dan keempat? Jika saya beranggapan bahwa seluruh Nabi berasal dari jazirah Arab, bukankah hal itu bertentangan bahwa ajaran keselamatan ditujukan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya ras tertentu?
Metode kodifikasi kitab Qur'an seperti yang dicontohkan corpus Qur'an, membawa saya pada pilihan yang lebih beragam tentang penafsiran ayat. Seperti saat menafsir akar kata iqra/baca. Tanpa saya duga, ayat-ayat yang mengandung akar kata qāf rā hamza (ق ر أ) sejauh ini berhubungan erat dengan ekonomi, moneter serta organisasi. Menarik.
Beragama, tanpa menyertakan proses membaca, hanya akan menghasilkan ritual kosong. Back then, saya merasa tenang saat melakukan ritus shalat. Padahal waktu itu, saya belum paham makna bacaan shalat. Ketika tahu bacaan shalat, malah segala sedu sedan melankolik tersebut lenyap. Berganti perasaan datar. Menggelikan memang :))
Tapi, apalah artinya semua tafsir yang hanya berkubang pada pemikiran. Bukankah sering dikumandangkan (setidaknya dulu di kelas sekolahku) bahwa alam semesta ini termasuk ayat-ayat-Nya? Lalu mengapa, masih berkutat saja pada penafsiran teks, tanpa pernah menjelajah dunia, duhai diri?
No comments:
Post a Comment