Ayat 104:
"Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu katakan 'Raa'inaa', tetapi katakanlah : 'Unzhurnaa', dan dengarlah. Bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."
Ayat ini menasehati umat muslim untuk membuktikan keimanan antara lain dengan mengatakan unzhurnaa daripada raa'inaa, kemudian menjalankan tuntunan ini maupun tuntunan lainnya. Kedua kalimat tersebut bermakna sama dalam bahasa Arab yaitu "perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami". Kata serupa ra'inaa dalam bahasa Ibrani bermakna makian.
Ayat 105:
"Orang-orang kafir dari Ahl al Kitaab dan orang-orang musyrik tidak senang dengan diturunkannya sedikit kebaikan (pun) kepada kamu dari Tuhan kamu. Allah mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya dan Allah Pemilik karunia yang agung."
Ayat ini mengingatkan kaum muslimin untuk tidak memercayai persahabatan SEBAGIAN Ahl al-Kitaab yang iri dan dengki atas kebaikan yang diturunkan Allah kepada kaum muslimin.
Makna "sedikit pun" dipahami dari kata min dan tanwin pada kata min khairin. Kebaikan yang dimaksud meliputi kebaikan ruhani maupun materi.
Ayat 106-107:
"Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, atau Kami menangguhkan (hukum) nya (kecuali) Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tiadakah engkau mengetahui bahwa kerajaan langut dan bumi adalah milik Allah? Dan tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong."
Makna ayat ini dari segi tinjauan hukum menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Secara garis besar, ada 4 kelompok pemahaman, yaitu:
- Allah tidak membatalkan satu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Ia mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa. Penganut paham ini beranggapan bahwa ada ayat-ayat dalam al Qur'an yang tidak berlaku lagi hukumnya, seperti hukum meminum khamr yang tadinya boleh saja diminum (baca an Nahl ayat 67 & al Baqarah ayat 219), kemudian terlarang bila telah mendekat waktu shalat (baca an-Nisaa' ayat 43), kemudian terlarang sama sekali (baca al-Maa'idah ayat 90).
- Allah tidak membatalkan hukum dalam ayat-ayat al Qur'an, melainkan hukum yang diterapkan dari ayat tersebut berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Ketetapan hukum terdahulu tetap berlaku jika ada seseorang atau masyarakat yang kondisinya sama atau serupa dengan masyarakat yang pada mulanya berlaku terhadapnya hukum tersebut. Sedangkan, hukum yang baru juga berlaku bagi masyarakat lain yang keadaannya telah berkembang sehingga tidak sesuai lagi baginya hukum yang lama itu.
- Ada juga yang memahami kata aayah dalam arti mukjizat. Sehingga pengertiannya menjadi: Kami tidak membatalkan satu mukjizat, atau menggantinya dengan mukjizat yang lain, kecuali yang datang kemudian lebih baik atau serupa dengan mukjizat yang lalu.
- Ada juga yang berpendapat bahwa kata nunsihaa berarti menjadikan manusia lupa. Pendapat ini tidak berarti ada ayat-ayat al Qur'an yang dilupakan Nabi saw. sehingga kini tidak tercatat dalam al-Qur'an, tetapi sesekali beliau terlupa namun tidak seterusnya.
Ayat ini memiliki keterkaitan dengan ayat 104 mengenai pembatalan, penggantian, pengubahan, penyalinan dll (arti naskh).