Hualooooowww! Pagi tadi, saya nonton film Freedom Writers untuk ke-sekian kalinya, tapi baru pertama kali ini ngikutin dari awal sampai akhir. Hehehe...
Film ini diangkat dari kehidupan nyata Erin Gruwell, seorang pengajar Bahasa Inggris di Woodrow Wilson High School, di Long Beach, US. Erin, yang diperankan oleh Hilary Swank, mendapat kelas yang berisi anak-anak yang dekat dengan kehidupan gangster serta rasisme dan berusaha mengubah sudut pandang mereka. Oke, saya tidak akan membahas film ini lebih panjang dari segi jalan ceritanya, karena nanti akan merusak mata orang-orang pembenci spoiler film. Hehehe...
Jadi, saya mau berbagi saja pelajaran yang saya dapatkan dari film ini. Eits, bukannya berbagi pelajaran dari film sama dengan spoiler? Oh, belum tentu. Karena pelajaran yang diambil dua orang atau lebih dari suatu film bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Bukankah kita punya sudut pandang yang berbeda? :)
1. Agresivitas dapat diredam melalui pelajaran berbahasa. Di film ini, Ms Erin berusaha mengajarkan pelajaran berbahasa, yang selama ini dianggap remeh oleh para muridnya. Mereka tadinya tak dapat menemukan relasi antara pelajaran sastra dengan kehidupan mereka di dunia nyata yang amat lekat dengan kekerasan, tak jarang kematian.
Padahal, melalui sastra, kita dapat menyalurkan ide ke dalam bentuk komunikasi yang amat canggih yaitu tulisan. Dengan pelajaran berbahasa pula, kita dapat mengekspresikan perasaan yang mungkin jika dipendam akan mengakibatkan hal-hal yang buruk, depresi misalnya.
Sejalan dengan ilmu filsafat maupun ilmu matematika, sastra dapat membentuk pola berpikir kita. Bedanya, dengan sastra, kita dapat mengasah kepekaan kita baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Lagipula, dengan menulis, akan timbul kepercayaan diri sehingga dapat membentuk keberanian bagi para murid untuk bertindak di dunia nyata.
2. Dalam mengajar dibutuhkan inovasi. Selain mengajarkan sastra, Ms Erin juga mengajak para muridnya yang berasal dari berbagai ras itu mengenal satu sama lain melalui permainan yang disebut 'Stay In The Line'. Ia juga mengajak siswanya berdarmawisata, menemui saksi sejarah, serta menonton film yang berhubungan dengan Holocaust. Saya rasa, ini adalah cara yang bagus untuk menghindari kebosanan siswa jika diajak terlalu banyak berkutat dengan buku :D. Tentu saja, lanjut nomor 3
3. Pendidikan membutuhkan uang. Untuk mewujudkan kurikulum model Ms Erin tentu dibutuhkan uang ekstra, karena biaya perjalanan darmawisata, biaya untuk mendatangkan pembicara, biaya untuk membeli buku bacaan wajib, dsb.
4. Sebaiknya tidak menghakimi tulisan orang lain, terutama gaya bahasanya karena setiap orang memiliki gaya yang khas dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan.
5. Berdedikasi untuk membantu orang lain itu baik, tapi jangan sampai hal tersebut membuat kita mengabaikan keluarga, apalagi pasangan. Di film ini, kita bisa lihat betapa berdedikasinya Ms Erin dalam menyelamatkan para murid, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ia berusaha membeli buku bacaan wajib dengan mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Dan ini berarti ia harus bekerja sebagai penjaga toko dan resepsionis di akhir pekan..... Ia terlalu sibuk menyelamatkan mereka tapi tak bisa menyelamatkan pernikahannya karena sang suami merasa tak diperhatikan dan pembicaraan mereka hanya seputar Erin dan sekolahnya serta muridnya.
Setelah berhasil membuat semua muridnya menulis diari, Ms Erin berhasil membujuk seorang pengusaha untuk membiayai penerbitan The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change Themselves and the World Around Them.
Nah, selamat menonton ya. Nanti kalau sudah menonton, beri tahu saya tanggapan kamu terhadap film ini. Terima kasih :D
No comments:
Post a Comment