Friday, September 23, 2016

Al Kaafirun & Bias Perspektif

 
 Say, "O disbelievers,

 
I do not worship what you worship.

 
Nor are you worshippers of what I worship.

 
Nor will I be a worshipper of what you worship.

 Nor will you be worshippers of what I worship.

 
For you is your religion, and for me is my religion."
 
 Selepas shalat isya' beberapa hari lalu, saya tiba-tiba tergugah untuk membaca ulang terjemahan Q.S. Al Kaafirun. Ada makna implisit dalam surah tersebut yang baru saya dapatkan malam itu, yaitu tentang bias perspektif. Apa yang seseorang pahami tentang sebuah teori, bisa saja sangat jauh dengan kondisi di lapangan. Itu yang membentuk bias. Memaksakan pendapat akan menimbulkan peperangan yang terkadang tak perlu. Wallahu a'lam.





 

Thursday, August 4, 2016

Salam Ahimsa

Several weeks ago, I "accidentaly" read an article of 'Om Lokah Samastah Sukhino Bhavantu'. That mantra used to pray for all sentient beings to be happy or in a peaceful state. Furthermore, it carries the spirit of ahimsa or no violence. The ahimsa concept reminds me of 'sin lam miim' Arabic triliteral roots in Qur'an.

For the first time I chanted it, then followed by mindful eating, it made me cried. I wasn't crying because of sad, but more likely being grateful. I was suddenly became aware to the food processing. How those rice grains planted by farmers or how does the farmers took care of their cattles then its meat delivered to my plate. And so on and on and on..... If I could describe that situation into one word, it will be PEACEFUL. I rarely have peaceful state of mind. So yeah, that was wonderful.

Thursday, June 16, 2016

What is Normal?


Credit to: Warner Bros

Have you seen "The Accountant" trailer? One thing for sure, there's a catch phrase that I like, "Define normal."

For years, I've been battling my surrounding about what is normal. Most of my raport book from childhood to teenager been filled with "Lack of social skills and tend to be a loner" comments from various teachers. Extended family me for being "abnormal". "Normal" people, according to them, should be socialized and have a lot of friends. 

Little did they know, I don't have interest in making communications with a bunch of people. Especially the ones that demand affection. Showing affection towards other could be burdensome for me. I believe, the more communication, the more potential problems. Well, maybe I should correct that words. Communication is fine if its only on objective matter, such as biology; arts; neuroscience; etc. It is consider NOT fine when they demanding emotional attachment. Frankly speaking, I don't even have affection towards family. Sometimes, it is haunted me whether is it normal or not. It made me feel guilty, thus exhausting. 

Sunday, May 8, 2016

Normal & Abnormal

"Everybody is normal and abnormal at the same time because they follow their own norms & break others norms" - Me, on phone talking with Max

Sunday, April 10, 2016

Akar Kata Qaf Lam Ba Pada Surah Ali Imran (part 2)



In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful

Berawal dari pertanyaan Ibu, mengapa sekarang saya jarang "mengaji", mengawali proses saya untuk mengenali lebih dalam Al Qur'an. Untuk Mutya 10 tahun lalu, kedamaian bisa tercapai salah satunya dengan "mengaji" atau lebih tepatnya mengucapkan bacaan Al Qur'an. Namun, perlahan mulai muncul kegelisahan karena sadar, saya tak mengerti apa yang saya baca. Memang, sudah tersedia Al Qur'an yang tertera terjemahannya di pasaran, but it's something that I can't figure it out. I felt disconnected because it seems so "high"

Saya pikir, jika Al Qur'an adalah sebuah panduan hidup, maka saya butuh untuk mengerti bagaimana cara mengamalkannya daripada hanya sekedar reciting. Saya paham bahwa setiap manusia memiliki bias persepsinya masing-masing, pun tak lepas dari para penerjemah. Bisa jadi, ada konten emosional dari suatu kata berdasarkan pengalaman hidup pembaca kata tersebut. Oleh karena itu, saya membutuhkan suatu metode yang (diharapkan) bisa mereduksi bias tersebut, yaitu dengan pendekatan kuantitatif. 

Sunday, February 28, 2016

Eksperimen: Teknik Pernafasan Wim Hof & Solfeggio Tone

Sudah beberapa saat ini saya melakukan eksperimen independen terkait dengan teknik pernafasan dan terapi frekuensi suara. Tujuannya untuk menguji apakah teknik pernafasan dan frekuensi suara tersebut bermanfaat bagi fisik dan mental saya. Pada hari ini saya menggabungkan teknik pernafasan Wim Hof dengan solfeggio tones. Sebelumnya, saya sudah pernah melakukan teknik Wim Hof maupun solfeggio secara terpisah.  

Di percobaan pertama, teknik Wim Hof membuat kepala saya pusing. Sementara frekuensi 396 Hz, pada dua menit pertama membuat dada terasa tertekan, namun menit berikutnya memberikan rasa nyaman hingga mengantuk. Rasa nyaman tersebut tetap ada pada percobaan-percobaan berikutnya. Frekuensi 417 Hz pada percobaan terpisah memberikan rasa sakit di kepala saya. 

Pada percobaan gabungan antara teknik Wim Hof serta 396 Hz & 417 Hz, efek yang dirasakan berbeda dengan efek percobaan terpisah sebelumnya. Penggabungan teknik Wim Hof & 396 Hz memunculkan tremor pada tangan kanan, terutama saat berkonsentrasi di tulang ekor. Yes, 396 Hz kerap dikaitkan dengan root chakra. Lalu penggabungan teknik Wim Hof & 417 Hz memberikan rasa nyaman dan hangat di perut, terutama sekitar pusar. 417 Hz kerap diasosiasikan dengan sacral chakra. Nyaris tak ada tremor. Sebelum ini, saya sudah pernah mempraktekkan meditasi sacral chakra, tapi selalu memberikan rasa tak nyaman. It's quite interesting to know the reaction could be differ when I combine those two things.