Ada satu peraturan tak tertulis --kecuali mungkin di army survival kits-- saat menjalani kehidupan ber-"suku", yaitu berusaha tampil semirip mungkin dengan anggotanya.
Selama dua tahun belakangan ini, saya menjalani kehidupan kesukuan saya yang baru, dengan pengikat bela diri tertentu. Sesuatu yang sangat asing, mengingat sejarah kesehatan saya. Menemui banyak benturan nilai dengan persepsi pribadi.
Sebagai contoh, saya tadinya tak mengenal nilai kekeluargaan dengan mereka yang tak bertalian keluarga akibat darah atau perkawinan. Nilai kekeluargaan ini "dipaksakan" melalui penyamaan beban latihan; seragam; simbol; ritual; kitab yang berlaku; lagu; bahasa; ideologi bahkan perekonomian sampai pada tingkat tertentu --setidaknya tak memperlihatkan kesenjangan yang terlampau jauh--. Apakah pemaksaan tersebut bersifat buruk? Tidak juga. Pemaksaan kadang dibutuhkan untuk mencapai persatuan.
Dengan adanya penekanan pada nilai kekeluargaan, setidaknya saya saat ini mendapat saudara-saudara baru --atau setidaknya begitu, menurut lisan mereka--. Eh sebentar, ada juga sih yang memang menunjukkan sikap kekeluargaan lebih dari sekedar lisan. Mereka nyaris selalu ada saat saya membutuhkan --lalu timbullah hutang sosial saya terhadap mereka--.
Untuk memperlancar transaksi sosial saya terhadap suku ini, saya harus berusaha semampu saya untuk terlihat sama. Jika kebanyakan dari mereka yang sejauh ini saya temui berasal dari pesisir, dengan pendidikan yang dominan universitas berafiliasi agama; tingkat perekonomian segitu, ya sebisa mungkin saya tak melebihinya. Memposisikan diri terlihat tak menonjol itu penting, karena kalau nanti terlihat beda, bisa jadi target empuk. Been there, done that, accidentally. Lalu menimbulkan isu yang bergulir dengan liar -___-". Kata Mas pacar, itu konsekuensi hidup bersinggungan dengan "suku".
Dalam bertransaksi, pasti dibutuhkan adanya alat tukar. Begitupun saat suku ini melakukan transaksi sosial dengan suku lainnya. Sejauh yang saya temui, nilai alat tukar yang kami gunakan saat ini, bernilai rendah. Dinilai rendah karena setiap ada suku lain yang memprovokasi, cenderung gampang memberikan feedback secara cepat, melibatkan kekerasan fisik, menyebar dengan masif. Hal ini juga berlaku saat bertransaksi internal.
Merunut dari sejarahnya, suku ini memiliki nilai tukar sosial awal yang tinggi. Menghindari menggunakan kekuatan fisik sebisa mungkin; mengamati motif pihak lain & diri sendiri; dan tidak mencari musuh. But yeah, things happened.
Despite pasang surut dalam kehidupan di dalam suku ini, saya masih bersyukur karena akhirnya mengalami juga fase ini. Tidak pernah menduga sebelumnya kalau harus berkecimpung dengan bela diri dan bertemu dengan kelompok yang berbeda sekali nilainya secara personal. Dari mereka pula saya akhirnya mengerti bagaimana manusia bisa menjadi spiritualis non religius. Semoga Tuhan melindungi dan menunjukkan jalan yang lurus kepada "suku"-ku. Aamiin.
Selama dua tahun belakangan ini, saya menjalani kehidupan kesukuan saya yang baru, dengan pengikat bela diri tertentu. Sesuatu yang sangat asing, mengingat sejarah kesehatan saya. Menemui banyak benturan nilai dengan persepsi pribadi.
Sebagai contoh, saya tadinya tak mengenal nilai kekeluargaan dengan mereka yang tak bertalian keluarga akibat darah atau perkawinan. Nilai kekeluargaan ini "dipaksakan" melalui penyamaan beban latihan; seragam; simbol; ritual; kitab yang berlaku; lagu; bahasa; ideologi bahkan perekonomian sampai pada tingkat tertentu --setidaknya tak memperlihatkan kesenjangan yang terlampau jauh--. Apakah pemaksaan tersebut bersifat buruk? Tidak juga. Pemaksaan kadang dibutuhkan untuk mencapai persatuan.
Dengan adanya penekanan pada nilai kekeluargaan, setidaknya saya saat ini mendapat saudara-saudara baru --atau setidaknya begitu, menurut lisan mereka--. Eh sebentar, ada juga sih yang memang menunjukkan sikap kekeluargaan lebih dari sekedar lisan. Mereka nyaris selalu ada saat saya membutuhkan --lalu timbullah hutang sosial saya terhadap mereka--.
Untuk memperlancar transaksi sosial saya terhadap suku ini, saya harus berusaha semampu saya untuk terlihat sama. Jika kebanyakan dari mereka yang sejauh ini saya temui berasal dari pesisir, dengan pendidikan yang dominan universitas berafiliasi agama; tingkat perekonomian segitu, ya sebisa mungkin saya tak melebihinya. Memposisikan diri terlihat tak menonjol itu penting, karena kalau nanti terlihat beda, bisa jadi target empuk. Been there, done that, accidentally. Lalu menimbulkan isu yang bergulir dengan liar -___-". Kata Mas pacar, itu konsekuensi hidup bersinggungan dengan "suku".
Dalam bertransaksi, pasti dibutuhkan adanya alat tukar. Begitupun saat suku ini melakukan transaksi sosial dengan suku lainnya. Sejauh yang saya temui, nilai alat tukar yang kami gunakan saat ini, bernilai rendah. Dinilai rendah karena setiap ada suku lain yang memprovokasi, cenderung gampang memberikan feedback secara cepat, melibatkan kekerasan fisik, menyebar dengan masif. Hal ini juga berlaku saat bertransaksi internal.
Merunut dari sejarahnya, suku ini memiliki nilai tukar sosial awal yang tinggi. Menghindari menggunakan kekuatan fisik sebisa mungkin; mengamati motif pihak lain & diri sendiri; dan tidak mencari musuh. But yeah, things happened.
Despite pasang surut dalam kehidupan di dalam suku ini, saya masih bersyukur karena akhirnya mengalami juga fase ini. Tidak pernah menduga sebelumnya kalau harus berkecimpung dengan bela diri dan bertemu dengan kelompok yang berbeda sekali nilainya secara personal. Dari mereka pula saya akhirnya mengerti bagaimana manusia bisa menjadi spiritualis non religius. Semoga Tuhan melindungi dan menunjukkan jalan yang lurus kepada "suku"-ku. Aamiin.
No comments:
Post a Comment