Pernah, suatu hari, saya terbangun dengan pertanyaan:
'Apa yang akan saya lakukan ketika orang-orang terdekat saya tak ada lagi di dunia fana ini? Bisakah saya bertahan hidup? Apa yang saya miliki untuk bertahan hidup?'
Pemikiran tersebut tak hanya datang sekali. Lalu muncullah sebuah tekad untuk memperbanyak kemampuan diri dengan tujuan bertahan hidup. Sejak beberapa bulan yang lalu, saya mulai mempelajari beberapa hal dan mencoba mempraktekkannya. Cuma untuk bertahan hidup.
Tapi, ketika orang-orang di sekitar mempertanyakan alasannya, mereka tak dapat menerima ide bahwa saya melakukan itu untuk bertahan hidup, terutama jika mereka suatu saat dipanggil oleh Pemilik nyawa. Sebagian dari mereka berpikir bahwa itu adalah suatu ide yang kasar, terlalu jauh.
Hm, lalu apa definisi dari kasar? Jauh? Bukankah kematian itu hal yang terdekat bagi setiap yang bernyawa? Bukankah warisan terbaik yang bisa ditinggalkan manusia adalah ilmu? Menurut mereka, itu bukan cara seorang Jawa dalam menjawab pertanyaan, terlalu kasar. Err, Jawa bagian mana? Bukankah kebudayaan Jawa bagian pedalaman dan pesisir itu berbeda?
'Perkataan tadi bisa kamu terapkan kalau kamu hidup di negara Barat! Seharusnya kamu jawab saja untuk bisa mendapatkan uang dari ketrampilan tersebut', begitu tanggapan salah satu dari mereka.
'Kenapa kamu mikirnya jelek begitu? Hati-hati dengan omongan, bisa jadi doa' ujar yang lain.
Hm, saya tidak pernah mendoakan yang terburuk bagi orang-orang terdekat saya. Saya hanya ingin mempersiapkan diri. Apa yang salah dengan mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan? Toh orang Aceh juga tak pernah berharap bahwa banyak keluarganya meninggal ketika terjadi tsunami kan? Tapi setelah tsunami usai, mereka harus bertahan hidup. Begitupun dengan Bangsa Jepang setelah gempa besar 2011....
Hm, saya hanya berusaha mengambil setiap nilai dari berbagai kebudayaan yang menurut saya sesuai dengan konsep pribadi saya. Tak masalah apakah itu dari Barat atau Timur. Terkait motif ekonomi, IMO, hanya salah satu alat untuk bertahan hidup.
Saya tak berniat untuk melukai mereka dengan jawaban kebutuhan saya untuk bertahan hidup tadi. Tapi entah kenapa beberapa orang sangat tersinggung. Rupanya, dalam suatu komunitas yang dihubungkan dalam darah sekali pun, tidak menjamin seluruh anggotanya memiliki konsep nilai yang sama. Tapi saya percaya, masih ada individu-individu di luar sana yang memiliki irisan pemikiran & nilai, meskipun tak pernah bertatap muka sebelumnya. Dan, nilai itu bisa saja berubah & berkembang, sesuai dengan keadaan.
hehe.. aku bisa merasakan begitu juga mutya. kadang kalo ngobrol ke arah yg 'agak filosofis' kayak gitu sm adek, "gimana kalau... gimana kalau..." maksudnya kan ngajak sama2 mikir sejak dini dan bisa mempersiapkan diri kalo nanti sampai di masa2 begitu harus bgmn.. Eh, responnya malah suka berlawanan dari yg diharapkan. Dibilang ndoain yg jelek2 lah.. dsb.
ReplyDeleteKalo aku sih dari pertanyaan memancing begitu jd bisa memilah2 orang mana yg akan merespon sesuai dgn yg kita harapkan (ikut sharing ide2 bareng mungkin) sama mana orang2 yg meresponnya sebaliknya dan justru bikin perasaan kita jd ga enak. Jadi ntar2 kalo mau refleksi diri lagi atau berandai-andai (dgn tujuan yg bagus ya tentunya) aku sharing-nya ke orang-orang yg kelompok pertama aja. Lebih bikin nyaman sih, kita boleh jd diri sendiri :D
Pertanyaan-pertanyaan semacam "gimana kalau..." itu jika hanya dipikirkan akan membuat semakin pusing. Lebih baik memperbanyak tindakan untuk siap menghadapi kondisi apapun :)
ReplyDelete