Semalaman tidur saya nggak nyenyak gara-gara mikirin tentang branding & kaitannya terhadap keputusan konsumen dalam memilih produk. Dalam rangka mengubah posisi dari konsumen murni menjadi produsen --walau skala ekonominya masih kecil, hehehe--, saya berusaha mengurai lagi pikiran saya terhadap branding.
Ketika berkuliah, saya sering mengunjungi supermarket dan mempunyai kebebasan dalam mengatur uang yang telah diberikan orang tua. Posisi ketika itu adalah saya sebagai konsumen murni dengan tingkat konsumsi produk olahan makanan & minuman sebesar sekian sekian Rupiah. Saya adalah tipe konsumen yang gemar berpetualang dari satu produk ke produk lain, hingga merasa mendapatkan yang paling tepat, terutama untuk pemilihan mie instan; produk jus buah-buahan dan dairy product.
Di Indonesia, ketika membeli mie instan, menariknya, apapun merk-nya, konsumen sering -- atau selalu?-- menyebut dengan Ind*m*e. Itu mengindikasikan bahwa branding Ind*m*e sudah menancap begitu kuat dalam benak konsumen. Tidak mau terjebak dalam pemikiran seperti itu, maka petualangan saya terhadap mie instan pun dimulai. Dari produk dalam negeri hingga luar negeri --biasanya sih buatan Thailand atau Jepang-- saya cobain. Berhubung saya belum tahu bagaimana rasa dari produk tersebut, maka acuan saya adalah kemasan produk, mulai dari pilihan warna, font, gambar, serta informasi yang tercantum di dalamnya. Apalagi kalau ada label halalnya, membuat saya lebih yakin untuk mengambil produk tersebut. Untuk masalah harga waktu itu bukan pertimbangan utama.
Setelah mencoba berpetualang, ternyata saya kembali lagi ke Ind*m*e. Alasannya? Karena rasa mereka lebih enak daripada mie-mie instan yang pernah saya cobain. Mungkin karena lidah saya lebih terbiasa dengan rasa dari Ind*m*e. Meskipun dari segi kemasan, terkadang dia kalah menggoda dibandingkan dengan mie instan dari luar negeri. Hehehe.
Dari situ saya belajar bahwa kemasan bisa sangat mempengaruhi keinginan konsumen dalam membeli produk. Untuk produk makanan & minuman, saya perhatikan biasanya berwarna cerah. Semakin saya menyukai produk tersebut serta kemasannya, semakin saya memberikan perhatian yang detail. Mulai dari komponennya; nutrition facts; siapa produsen, pengemas, dan distributornya; label halalnya; tanggal kadaluarsa; netto, bahkan terkadang melihat status merk dagangnya, apakah sudah terdaftar atau belum. Biasanya kemasan yang baik, akan menimbulkan harapan tentang kualitas produk serta membuat konsumen rela membayar lebih dibandingkan produk sejenis. Tapi hal ini harus diriset untuk meng-kalkulasi seberapa banyak yang sepemikiran dengan saya.
Ngomong-ngomong soal label produk makanan dan minuman, ada beberapa peraturan yang mengatur tentang label yaitu PERMENKES RI No 329/Menkes/Per/XII/76; PERMENKES RI No 79/Menkes/Per/III/78 serta PP No 69 Tahun 1999. Hal yang harus dicantumkan pada label adalah nama makanan dan atau merk dagang; komposisi; isi netto atau netto; nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau mengedarkan; nomor pendaftaran; kode produksi; dan tanggal kadaluarsa.
Berdasarkan ilmu yang saya dapat waktu pelatihan keamanan pangan, Bahan Tambahan Pangan (BTP) itu diberbolehkan asalkan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pada PERMENKES RI No 722/Menkes/Per/IX/88. Oh ya, pencantuman keterangan "Tanpa MSG" atau "Tanpa Pengawet" atau "Tanpa Pewarna", itu sebenarnya tidak diperbolehkan, atau lebih tepatnya tidak etis. Karena dapat menimbulkan persepsi bahwa BTP tersebut tidak aman bagi kesehatan manusia. Padahal BTP kan boleh digunakan asal sesuai dengan aturan, termasuk MSG.
No comments:
Post a Comment