Seringkali, manusia *saya, maksudnya*, memiliki kecenderungan untuk menganggap remeh pekerjaan orang lain. Pekerjaan rumah tangga yang nampaknya tidak bergengsi itu, ternyata tidak mudah untuk dijalani. Sedari kecil, karena terbiasa memiliki PRT, saya nyaris tidak pernah memegang urusan rumah tangga. Jangankan mencuci pakaian, menyapu saja rasanya sangat malas.
Tapi urusan bisa beda ketika para Mbak *begitu saya memanggil mereka*, pulang kampung. Masya Allah, pekerjaan rumah serasa tidak habis-habis. Dari subuh hingga isya', adaaaa saja pekerjaan. Dari nyuci pakaianlah *padahal pakai mesin, hehehe*, nyetrika pakaian, nyapu dan ngepel lantai, membersihkan kamar mandi, dll. Fiuuuuhhhh...... Badan yang terbiasa manja ini akhirnya merasakan beratnya pekerjaan yang 'remeh temeh' tersebut.
Jika dipikir-pikir, kita meng-hire PRT untuk melakukan pekerjaan domestik. Dengan menggaji mereka, timbul pikiran bahwa kita adalah bos mereka. Padahal, kalau kita terbiasa dilayani dan manja, merekalah yang akan menjadi bos kita. Coba bayangkan kalau kamu seorang Ibu dengan dua anak yang masih berusia balita, kemudian memiliki perusahaan sendiri, lalu para PRT pulang kampung.... Tadaaaaa! Hasilnya adalah kemungkinan besar waktu kamu akan tersita pada pekerjaan rumah dan bisnis akan 'sedikit' terganggu, kecuali kalau perusahaan kamu sudah mapan dan sudah ada orang kepercayaan disana yang dapat diserahi tugas untuk sementara waktu.
Maka, dengan badan yang pegal dan kepala yang penat ini *lebay*, saya mengakui bahwa pekerjaan rumah tangga itu sangat berat dan dibutuhkan stamina yang besar. Tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik & benar. Seseorang akan mudah melakukan judgement pada suatu hal yang belum pernah ia kerjakan sendiri. Memberi perintah itu sangat mudah, tapi melaksanakan perintah itu terlebih dahulu sebelum bawahan mengerjakannya itu yang susah. Salut bagi para PRT yang melakukan tugas dengan baik sehingga banyak keluarga yang dapat lebih produktif di luar rumah *Oh ya? Ada hubungannya secara langsung begitu?*. Selain itu saya juga ingin memberikan salut setinggi-tingginya pada para Ibu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri, *meskipun punya pasukan Mbak* yang tetap memberi perhatian pada tumbuh kembang anak-anaknya, memberi perhatian pada suami dan tetap berkarya bagi masyarakat.
Saturday, September 10, 2011
Monday, September 5, 2011
Saya & Branding Produk Makanan & Minuman
Semalaman tidur saya nggak nyenyak gara-gara mikirin tentang branding & kaitannya terhadap keputusan konsumen dalam memilih produk. Dalam rangka mengubah posisi dari konsumen murni menjadi produsen --walau skala ekonominya masih kecil, hehehe--, saya berusaha mengurai lagi pikiran saya terhadap branding.
Ketika berkuliah, saya sering mengunjungi supermarket dan mempunyai kebebasan dalam mengatur uang yang telah diberikan orang tua. Posisi ketika itu adalah saya sebagai konsumen murni dengan tingkat konsumsi produk olahan makanan & minuman sebesar sekian sekian Rupiah. Saya adalah tipe konsumen yang gemar berpetualang dari satu produk ke produk lain, hingga merasa mendapatkan yang paling tepat, terutama untuk pemilihan mie instan; produk jus buah-buahan dan dairy product.
Di Indonesia, ketika membeli mie instan, menariknya, apapun merk-nya, konsumen sering -- atau selalu?-- menyebut dengan Ind*m*e. Itu mengindikasikan bahwa branding Ind*m*e sudah menancap begitu kuat dalam benak konsumen. Tidak mau terjebak dalam pemikiran seperti itu, maka petualangan saya terhadap mie instan pun dimulai. Dari produk dalam negeri hingga luar negeri --biasanya sih buatan Thailand atau Jepang-- saya cobain. Berhubung saya belum tahu bagaimana rasa dari produk tersebut, maka acuan saya adalah kemasan produk, mulai dari pilihan warna, font, gambar, serta informasi yang tercantum di dalamnya. Apalagi kalau ada label halalnya, membuat saya lebih yakin untuk mengambil produk tersebut. Untuk masalah harga waktu itu bukan pertimbangan utama.
Ketika berkuliah, saya sering mengunjungi supermarket dan mempunyai kebebasan dalam mengatur uang yang telah diberikan orang tua. Posisi ketika itu adalah saya sebagai konsumen murni dengan tingkat konsumsi produk olahan makanan & minuman sebesar sekian sekian Rupiah. Saya adalah tipe konsumen yang gemar berpetualang dari satu produk ke produk lain, hingga merasa mendapatkan yang paling tepat, terutama untuk pemilihan mie instan; produk jus buah-buahan dan dairy product.
Di Indonesia, ketika membeli mie instan, menariknya, apapun merk-nya, konsumen sering -- atau selalu?-- menyebut dengan Ind*m*e. Itu mengindikasikan bahwa branding Ind*m*e sudah menancap begitu kuat dalam benak konsumen. Tidak mau terjebak dalam pemikiran seperti itu, maka petualangan saya terhadap mie instan pun dimulai. Dari produk dalam negeri hingga luar negeri --biasanya sih buatan Thailand atau Jepang-- saya cobain. Berhubung saya belum tahu bagaimana rasa dari produk tersebut, maka acuan saya adalah kemasan produk, mulai dari pilihan warna, font, gambar, serta informasi yang tercantum di dalamnya. Apalagi kalau ada label halalnya, membuat saya lebih yakin untuk mengambil produk tersebut. Untuk masalah harga waktu itu bukan pertimbangan utama.
Subscribe to:
Posts (Atom)