In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful.
Berawal dari pertanyaan Ibu, mengapa sekarang saya jarang "mengaji", mengawali proses saya untuk mengenali lebih dalam Al Qur'an. Untuk Mutya 10 tahun lalu, kedamaian bisa tercapai salah satunya dengan "mengaji" atau lebih tepatnya mengucapkan bacaan Al Qur'an. Namun, perlahan mulai muncul kegelisahan karena sadar, saya tak mengerti apa yang saya baca. Memang, sudah tersedia Al Qur'an yang tertera terjemahannya di pasaran, but it's something that I can't figure it out. I felt disconnected because it seems so "high".
Saya pikir, jika Al Qur'an adalah sebuah panduan hidup, maka saya butuh untuk mengerti bagaimana cara mengamalkannya daripada hanya sekedar reciting. Saya paham bahwa setiap manusia memiliki bias persepsinya masing-masing, pun tak lepas dari para penerjemah. Bisa jadi, ada konten emosional dari suatu kata berdasarkan pengalaman hidup pembaca kata tersebut. Oleh karena itu, saya membutuhkan suatu metode yang (diharapkan) bisa mereduksi bias tersebut, yaitu dengan pendekatan kuantitatif.