Friday, March 28, 2014

Resensi Buku: Babad Tanah Jawi versi Olthof



Sebenarnya, buku ini sudah lama teronggok di sudut laci saya. Sempat membaca beberapa halaman awal, tiga tahun lalu. Lalu segera menyerah karena menganggapnya sebagai sebuah buku mitologi tebal. 


"Ini sungguh buku yang tak masuk akal..", keluh saya beberapa tahun yang lalu.


Kesimpulan tersebut rupanya terlalu dini. Saya lupa bahwa persepsi & pengalaman pembaca, sangat berperan dalam pengambilan kesimpulan. Tiga tahun terlewati. Banyak hal terjadi. Bisa saja-- saya tegaskan sekali lagi--, bisa saja, sesuatu yang dianggap tak masuk akal saat itu, karena pemikirnya tak menemui peristiwa yang terkait apa yang dibaca atau didengarnya. 


Ada banyak hal --ternyata-- yang menarik dari buku ini. Babad Tanah Jawi (BTJ) membahas banyak hal. Mulai dari genealogi manusia Jawa; sistem keuangan & valuta yang berlaku saat itu; alasan di balik peperangan yang tak selalu heroik; teknologi persenjataan; dan masih banyak lagi. 


Ditilik dari terminologi yang digunakan untuk menggambarkan jalur keturunan Nabi Adam hingga raja-raja di Jawa. Diantara mereka, terdapat Batara Guru, Batara Brahma dll. Terminologi Nabi & Dewa dalam satu jalur genealogi/keturunan. Menarik sekali. 

Awalnya, saya terjebak pada tahun yang dituliskan di buku. Saya kira menggunakan perhitungan tahun Masehi. Ternyata perhitungan tahunnya lebih cocok dengan hitungan kalender Jawa, yang berjarak 78-79 tahun lebih lambat dari Masehi. Sistem keuangan saat itu, banyak menyebutkan penggunaan uang real. Untuk gambaran sekilas, bisa menengok di web wakala




Kerajaan merupakan perusahaan keluarga. Jika daerah operasionalnya besar, akan menimbulkan banyak tantangan dalam pengawasannya. Butuh berapa lama untuk memberikan laporan dengan menaiki kuda? Sebagai upaya untuk mempertahankan aset, maka salah satu yang ditempuh adalah mengatur tali pernikahan. Apakah pernikahan tersebut dilandasi cinta --bweh, bahasanya bikin mual-- atau tidak merupakan persoalan lain. Dengan memastikan bahwa aset akan diteruskan dalam garis keluarga sendiri, maka incumbent akan lebih tenang dan legowo. 

Perang yang terjadi, kebanyakan dipicu o/ rebutan aset & sumber daya. Aset yang diincar terutama adalah tanah. Segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut (sumber daya), secara otomatis menjadi milik Raja. Bahkan warga diharuskan untuk membayar pajak, karena telah 'diijinkan' Raja untuk memperoleh kehidupan disitu. Ini mengingatkan pada kisah para Brahmin maupun kerajaan2 lain di dunia, seperti yang disebutkan dalam buku David Graeber. Berjudul Debt: The First 5,000 Years. Hubungi penulis blog jika membutuhkan buku tersebut.  





Tuesday, March 18, 2014

Sawang Sinawang

Exposing your life on public, leads to disaster. Berbagi foto keluarga atau menceritakan kisah personal di social media, mungkin tampak sepele bagi beberapa orang. Terutama, wanita-wanita yang sedang dilanda euforia karena bertambahnya anggota keluarga.

Dulu, saya termasuk santai saja memasang foto keluarga di social media. Tapi ini berubah sejak beberapa hari yang lalu. Sebuah telp masuk ke nomor hape saya, dan menyebutkan nama asli Ayah saya dengan jelas. Ini aneh karena 1. Nomor hape terbaru saya hanya diketahui segelintir orang. 2. Diantara yang mengetahui nomor hape tersebut, sangatlah sedikit yang mengetahui nama Ayah saya. Kalau itu urusan pekerjaan dengan Ayah, kenapa juga mencari ke hape saya?

You may call it over reacting. Tapi ini membuat saya berpikir. Mungkin ada yang salah dengan mempertontonkan kehidupan personal dan keluarga saya di publik. Meskipun saya tak pernah menyebutkan nama kedua orang tua di socmed, tapi saya telah berbuat salah karena memajang foto mereka. Maka, saya memutuskan untuk menghapus foto-foto mereka. Demi keamanan.

Peluang konflik antar manusia, sebanding dengan intensitas komunikasi dan jumlah populasi dalam suatu wilayah. Kini, wilayah-wilayah di dunia nyata semakin dikaburkan dengan adanya internet. Social media memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan siapa saja, dimana saja. Anda akan kebanjiran data. Bahkan tahu ketika seorang istri kecewa dengan suami yang hobi keluyuran. Atau Ibu Darti (bukan nama sebenarnya) yang baru saja membeli sebuah rumah karena ia mengunggahnya ke social media. Mengundang orang lain untuk melihat dan berkomentar.

Tuesday, March 11, 2014

Earworm




Kalau aku bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya jatuh cinta, maka aku akan memilih lagu ini. "Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan", oleh Payung Teduh. Bukan liriknya yang mampu mengantarkan pemahaman tersebut, tapi lebih kepada melodinya. Seolah ada perasaan membius yang susah dijelaskan, tiap mendengarnya.

Aku terlambat untuk mengenal Payung Teduh. Tak semua lagunya cocok dengan selera pribadiku. Beberapa terasa terlalu melankolik. Tapi lagu ini punya tempat tersendiri di pikiran. Bahkan butuh diputar berkali-kali dalam satu waktu untuk menggaruk telinga agar terbebas dari "earworm" ini.

Lelaki bermata badam favoritku berceletuk, "Mungkin Payung Teduh berdzikir dahulu sebelum menciptakan lagu-lagu mereka. Sehingga bisa terasa sangat syahdu." Lalu, mungkin saja setelah postingan ini di-publish, saya akan sedikit menyesalinya. Mengapa? Karena mengungkapkan emosi melankolik, di tempat publik, termasuk aib. Setidaknya untuk akhir-akhir ini, menurut standard pribadi. Ah, terserahlah.