Friday, August 19, 2011

Reality Bites

“Man is least himself when he talks in his own person. Give him a mask, and he will tell you the truth.” [Oscar Wilde]

Disadari atau tidak, setiap orang melakukan proses branding tentang diri mereka sendiri, entah itu lewat pernyataan verbal dan non verbal. Input pernyataaan verbal dan non verbal tersebut kemudian diproses oleh para konsumen (masyarakat sekitar) dengan pengetahuan & pengalaman yang mereka miliki. Maka, proses labelisasi manusia baik sebagai subjek maupun objek, tidak dapat dihindari.

Labelisasi, apapun jenis dan bentuknya, belum tentu dapat menggambarkan dengan tepat siapa kita sebagai individu. Menurut saya, labelisasi yang "wah" akan membuat manusia menurunkan tingkat kewaspadaan, yang mana akan membuat musuh, apapun & siapapun itu, lebih mudah menyerang kita.

Salah satu contoh empiris ketika mengikuti kompetisi, biasanya ada beberapa muka lama yang mencoba untuk memainkan perang strategi dengan lawan. Salah satu caranya adalah mencoba menggertak dengan menceritakan pengalamannya mengikuti kompetisi sejenis atau bagaimana massa (masyarakat) mengenali mereka. Mereka mencoba membangun persepsi atau labelisasi diri di mata lawan, yang bisa jadi berujung pada tiga hal. Pertama, lawan akan kehilangan kepercayaan dirinya sehingga tidak mampu bertarung secara maksimal. Biasanya cara ini akan berhasil pada orang yang jarang mengikuti kompetisi atau tidak berada pada lingkungan yang kompetitif. Kedua, lawan akan semakin terpacu untuk mengalahkan sang pembual secara terbuka. Ketiga, lawan akan lebih banyak menahan diri dari menanggapi secara berlebihan dan berusaha mengalahkannya dengan memberikan hasil yang terbaik, tanpa banyak mengeluarkan ucapan.

Biasanya, lawan yang paling menakutkan & "menggemaskan" adalah yang tipe ketiga, karena mereka sering tak menampakkan diri ketika sedang berkumpul, kemudian tiba-tiba meledak di saat akhir dengan prestasinya. Mereka memiliki kecerdasan dalam membaca situasi & membalikkannya di saat yang tepat. Tipe orang-orang seperti inilah yang membuat realita terkadang menjadi sangat menakutkan bagi lawan yang gemar bluffing itu. Yeah, reality bites, Dude.

Sunday, August 7, 2011

Filosofi dari Beberapa Makanan dalam Ritual Bancakan



Jika kamu seorang Jawa atau Sunda, kemungkinan besar kamu akan mengenal kata Bancakan. Bancakan merupakan suatu ritual yang diadakan sebagai simbolisasi rasa syukur kepada Sang Hyang Widi alias the Supreme Power dengan cara membagi-bagikan makanan kepada relasi. 

Dalam bancakan yang lazim diterima oleh kalangan di sekitar saya, terdapat lima unsur yang 'sunnah muakkad' untuk dipenuhi, yaitu apem, pasung (apem yang dililit daun pisang atau daun nangka yang dibentuk kerucut), gedhang atau pisang, ketan, dan kolak. 

Menurut penuturan guru ngaji saya, pada jaman dahulu, para wali berusaha mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat dengan cara yang telah mereka mengerti, salah satunya adalah memodifikasi konsep dan bentuk sajen. Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang 'wajib' mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu. Saat itu, mereka menganggap bahwa para arwah nenek moyang ataupun lelembut merupakan the supreme power.